Synopsis
CHAPTER 1
***
Yeong In’s POV
Tsk. Hari ini aku akan melakukannya lagi. Haaaaah... Susahnya memiliki kekasih yang sama sekali tidak pernah perhatian padaku. Padahal, sudah segala cara aku lakukan hanya untuk menarik perhatiannya, tapi itu semua sia-sia dan tidak membuahkan apa-apa.
Sayangnya, jika aku mulai marah dia tidak akan membujukku. Membujuk saja tidak mau, apalagi untuk sekedar minta maaf. Rasanya aku akan menganga dengan lebarnya untuk beberapa jam, jika ia mau seperti itu. Haha, aku berlebihan.
Sekarang, aku hanya terduduk dengan manisnya sambil terus menatap tubuh kekasihku itu. Oh iya, aku lupa memperkenalkannya. Namanya adalah No Min Woo. Dia lahir pada bulan yang sama denganku, yaitu bulan juli. Tahunnya pun sama, hanya tanggalnya saja yang berbeda. Karena itu, aku sendiri bingung harus memberi dia hadiah ulangtahun apa, karena jarak tanggal kelahiran kami yang tidak begitu jauh. Yang aku pikirkan bukan hanya itu, tapi uang. Ya ! Aku harus bekerja keras mengumpulkan uang untuk memberinya kado. Namun, sangat disayangkan sekali, sampai tahun ini ia bahkan belum sama sekali memberiku kado saat ulangtahunku. Hiuh ! Bagaimana lagi aku harus bersabar ?
Drrt...drrt...drrt...~Ada pesan~. KLIK !
From : Min Ah
Apa kau masih berada di lapangan kota ? Masihkah kau menunggunya ? Jika iya, jangan sampai lupa untuk ke rumah Ji Hoon sunbae dan rapat nanti malam. Annyeong , Yeongie.
Hahaha, dasar Min Ah. Dia memanggilku Yeongie ? Masih ingat ternyata dia dengan nama itu. Baiklah aku akan segera menjawab pesannya.
To : Min Ah
Ah... Aku bahkan hampir lupa. Baguslah kau mengingatkanku. Aku akan datang. Oh ya, tidak usah khawatir, aku selalu sabar. Ppyong, KISSEU !
SEND !
Yeong In’s POV end
***
“Fansmu rindu padamu ?” seseorang mengejutkan Yeong In yang masih sibuk membaca pesan dari teman-temannya yang belum sempat ia baca karena terlalu fokus pada kekasihnya, Minwoo.
Yeong In menatap Minwoo yang sudah duduk di sampingnya. Ia tersenyum manis.
“Apa kau sedang membicarakan dirimu sendiri ?” Minwoo terdiam, namun mencoba bersikap biasa saja. Memang ada benarnya juga apa yang ditanyakan Yeong In padanya. Karena, setiap hari selalu saja ada pesan masuk di ponsel Minwoo dari nomor yang tidak dikenal. Ternyata itu semua berasal dari para fans Minwoo di sekolah.
Yeong In mengambil handuk kecil dan sebotol air mineral dari dalam tasnya. “Ini...,” Yeong In meyerahkannya pada Minwoo. Lelaki itupun mengambilnya.
“Gomawo,”
GLEK ! Minwoo meneguk air minumnya.
“Kenapa kau belum pulang ?” tanya Minwoo sambil menyeka keringatnya dengan handuk kecil pemberian Yeong In. Ia terheran, melihat pakaian yang dikenakan Yeong In. Seragam klub bahasa inggris dari tempat lesnya. Biasanya, gadis itu mengganti bajunya jika hendak menunggu Minwoo.
“Aku sengaja menunggumu. Kau tahu itu, ‘kan,” jawab Yeong In seadanya.
“Sangat. Belum bosan kau menungguku ?” Minwoo meneguk lagi air minumnya. Sedangkan Yeong In hanya tersenyum kecut menanggapinya, ia merasa Minwoo tak menganggap kehadirannya di sana. Namun kemudian ia menjawab, “Apa kau merasa terganggu ?”
Minwoo menggelengkan kepalanya. “Aku hanya memastikan,” jawab Minwoo acuh.
“Apa salah aku mencoba peduli padamu ?” tanyanya lagi. Minwoo terdiam. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. “Tidak,”
Yeong In menatap Minwoo, tapi sayangnya lelaki itu tak mau memalingkan wajahnya pada gadis di sampingnya. Yeong In yang merasa cukup dengan ‘acara menunggunya’ itu, berniat untuk pergi. Ia menutup resleting tasnya dan memakainya kembali.
Minwoo dibuat menoleh karena sikap Yeong In yang sudah berdiri dengan sigapnya. Ia merasa aneh. “Kau ingin pulang ?” tanya Minwoo mencoba bersikap dingin. ‘Ia baru saja menjawab seperti itu, tapi sekarang sudah mau pulang’ batinnya.
“Aku ? Eum, aku belum ingin pulang, tapi aku harus ke rumah Ji Hoon sunbae untuk membicarakan acara rapat nanti malam,” Yeong In tersenyum.
Hati Minwoo mencelos. Ji Hoon ? Ya, ia sangat tahu siapa sosok Ji Hoon itu. Kakak tingkatnya yang sedang naik daun sekaligus ketua organisasi pelajar di sekolah. Apalagi kalau bukan karena gayanya yang keren, sifatnya yang ramah dan baik hati, ditambah lagi dengan ketampanannya. Hwaaah, tentu saja membuat seluruh siswi di sekolah terpukau.
Minwoo tak menanyakan lagi. Ia hanya kembali meneguk air minumnya hingga botol itu nampak kosong. Yeong In langsung mengambil langkah untuk pergi dari hadapan Minwoo. Namun, sebuah tangan yang memegang tangan kirinya, membuat Yeong In menghentikan langkahnya. Ia pun menoleh menatap Minwoo, lalu matanya menelusuri tangan Minwoo yang masih memegang tangan kirinya.
‘Dia memegang tanganku?’ tanyanya pada hatinya sendiri.
Kali ini Minwoo menatapnya. Menatap dan menjelajahi mata cokelat Yeong In. Akankah Minwoo bisa berubah ? Jawabannya hanya ‘mungkin’.
“Ada apa ?” tanya Yeong In setelah mengalihkan pandangannya dari tangan Minwoo. Karena merasa diperhatikan, Minwoo langsung melepas genggamannya.
“Tidak. Aku hanya ingin bilang, tidak usah menungguku lagi mulai besok,” Yeong In terkesiap. “Karena, aku akan membawa minum dan handukku sendiri,” Minwoo merapikan bajunya, lalu memperbaiki ikatan tali sepatunya. Ia tak mau melihat ekspresi Yeong In yang saat ini sedang menunggunya untuk memberi alasan lebih lanjut.
“Baiklah,” lontar Yeong In penuh rasa kecewa. Ia tertunduk dalam.
Yeong In kembali melanjutkan jalannya. Ia meninggalkan Minwoo yang masih berusaha tak menggubris dirinya. Merasa kekasihnya itu telah jauh, Minwoo kembali duduk sempurna. Ia melihat punggung Yeong In yang kurus itu.
“Berhati-hatilah, Yeongie,” ucapnya lirih.
Minwoo bangkit. Ia segera berlari kembali ke lapangan. Di sana teman-temannya telah menunggu.
***
Yeong In’s POV
Huh ! Apa semua lelaki seperti dia ? Apa semuanya akan mendapatkan hasil seperti ini ? Ck ! Rasanya aku bisa gila jika terus menerus menerima perlakuan ini. Bagaimana bisa aku menjalani hubungan selama 1 tahun lebih 2 bulan hingga saat ini ? Ini bagaikan mimpi di siang bolong yang sebolong-bolongnya. Apa dia belum juga sadar, kalau aku sudah mulai menyanyanginya ? Apa memang dia tidak peka ? Apa aku melakukan hal yang tidak ia suka ? Apa...YA ! MENGAPA INI SEMUA PENUH DENGAN APA, APA dan APA ? Dan untuk yang terakhir, MENGAPA INI SEMUA HARUS AKU JALANI ?!!!
YA ! NO MIN WOO, pabo !!!
Dulu, aku memang tidak menyukainya apalagi menyayanginya. Sulit rasanya untuk belajar suka pada lelaki yang bernama Minwoo itu. Dia selalu saja dihampiri oleh puluhan, ah bukan, ribuan gadis di sekolah. Dia memang tampan, tapi sebenarnya aku tidak tertarik dengannya. Hidupnya yang tidak jelas bagaimana, sifatnya yang tak bisa ditebak, kadang baik, kadang lembut, kadang cuek, kadang sombong dan itu semua hanya bisa aku katakan ‘kadang-kadang’. Tapi, aku bisa luluh hanya karena dia membantuku waktu itu. Bukan membantuku, melainkan membantu keluargaku. Argghh ! Seperti inikah cinta ? Seperti inikah orang-orang yang mengenal ‘cinta buta’ ? Bagaimana ia buta ? Cinta itu sebenarnya melihat dan terlihat serta merasa dan terasa. Entahlah ! Karena dia, cintaku berantakan. Sungguh !
Yeong In’s POV end
Yeong In sudah berada di depan rumah Ji Hoon, kakak tingkatnya. Namun, ia masih menimbang-nimbang untuk masuk atau tidak. Ia masih ragu untuk membunyikan bel rumah sunbae-nya itu, karena ia belum melihat adanya sepeda Kwangmin dan Min Ah yang terparkir di halaman rumah mewah itu.
“Masuk... Tidak ?” gumamnya. Seketika jari telunjuk kanannya mendengkur di bibirnya. Kebiasaannya memang seperti itu.
“Masuk saja,”
“EOH !” kejut Yeong In. Ia melihat ke kanan dan kiri namun tidak menemukan sumber suara itu.
“Aku di belakangmu,” suara itu terdengar lagi. Yeong In segera melihat ke arah di belakangnya. Ia terkejut saat melihat sosok yang sedang memperhatikannya sedari tadi.
“Masuklah, aku baru saja membeli makanan,” orang itu menghampiri Yeong In. Membuat gadis itu sedikit menggeser tubuhnya. Gadis itu pun tersenyum kikuk.
Orang itu nampak sedang merogoh saku celana jeans-nya. Saat berhasil mendapatkan apa yang ia cari, ia langsung membuka pintu rumahnya dengan kunci yang baru saja ia dapatkan. Kemudian ia mempersilahkan Yeong In untuk masuk.
Merekapun masuk secara bersamaan.
“Sunbae, kenapa rumah ini sepi sekali ?” tanya Yeong In sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh isi yang ada di rumah keluarga Lee itu. Sedangkan orang yang bernama Lee Ji Hoon, sang sunbae idaman yang ada di depannya itu sedang menaruh kantong belanjaannya di meja yang terletak di ruang keluarga, tak jauh dari tempat Yeong In kini.
“Orangtuaku sedang bekerja. Mereka pulang jam 8 malam. Kalau adikku, sebentar lagi juga pulang. Tenanglah. Masih ada nenek di sini,” jawab Ji Hoon lalu beralih menuju kulkas dan mengambil sebotol soft drink.
“Ooohh...,”
Yeong In masih terus berdiri sambil menatapi beberapa lukisan berbingkai yang terpajang di dinding dekat lemari bermotif sakura di hadapannya. Ia mencoba mengartikan ukiran kanvas yang terlihat indah dan menawan itu. Sesekali ia memicingkan matanya.
“Duduklah, Yeong In,” Ji Hoon meletakkan nampan berisi dua gelas pendek dan sebotol soft drink yang ia ambil beberapa menit lalu. Tak lupa ia menaruh beberapa makanan ringan di meja ruang tamu, tempat mereka kini.
Yeong In mendengarkan perintah Ji Hoon untuk duduk. Ia mengambil kursi di dekat lemari kecil yang menjadi alas beberapa deretan foto-foto berbingkai keluarga Ji Hoon. Kembali lagi, ia melihati foto-foto itu.
“Ternyata kau suka melihat foto ya ?” tanya Ji Hoon yang kala itu sedang menuangkan minuman ke dalam gelas yang ia berikan pada Yeong In.
Yeong In menoleh cepat. Ia tersenyum. “Jika aku melihat foto, apalagi foto yang memperlihatkan senyuman-senyuman, aku merasa senang,” ujar Yeong In senang.
Ji Hoon tersenyum, lalu berkata,“Karena kau senang melihat senyuman, karena itu pula kau mudah sekali tersenyum ?”
Pertanyaan itu refleks membuat Yeong In tersenyum malu. Ia mengangguk. “Karena tidak ada yang bisa membuatku bahagia selain tersenyum,” ucap Yeong In mantap.
Ji Hoon bingung, “Tersenyum ? Memangnya, Minwoo tidak membuat kau bahagia ?”
Spontan Yeong In dibuat terdiam. Ia bahkan mencerna kembali pertanyaan itu. Mungkin, ia salah bicara atau salah menyampaikan. Ah ! Itu sama saja.
Yeong In meninggalkan ucapannya tadi. Ia tak mau Ji Hoon bertanya lebih jauh lagi. Ia kembali memperhatikan deretan foto-foto yang ada di sampingnya. Ia telusuri satu per satu orang-orang yang ada di foto itu. Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu. Mata Yeong In membola. Sesuatu itu membuatnya kaget bukan kepalang. Ia tak bisa berpaling dari foto itu. Tidak bisa. Matanya terasa terkunci dengan foto itu.
Ji Hoon merasa aneh dengan ekspresi Yeong In. Ia melihat ke arah foto yang sedang dilihat gadis itu. Ia mengernyitkan keningnya. ‘Dia mengenalnya ?’ Ji Hoon bertanya pada hatinya.
“Ji... Ji Hoon... Sunbae,” panggil Yeong In terbata-bata. Ia masih berada pada posisinya. Statis.
“Ada apa Yeong In ?” tanya Ji Hoon balik. Ia penasaran.
“Orang itu...,” ucap yeong In lirih. Ji Hoon menatap wajah putih Yeong In. Ia menanti kalimat selanjutnya.
“JI HOON SUNBAE !!!” teriak segerombolan orang dari halaman rumah Ji Hoon. Membuat Ji Hoon dan Yeong In menoleh dengan cepatnya.
Ji Hoon beranjak dari duduknya. Ia menuju pintu untuk melihat siapa gerangan yang telah meneriaki namanya. Saat telah sukses membuka pintu, ia merasa lega.
“Ya ! Apa Yeong In sudah datang ? Kami menjemputnya, tapi ia pergi,” teriakan kecil Kwangmin memenuhi telinga Ji Hoon. Ji Hoon hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tiba-tiba masuklah seorang gadis sambil mengayuh sepedanya menambah jumlah satu sepeda lagi yang sudah bertengger bersamaan Kwangmin tadi di area parkir halaman rumah Ji Hoon. “Oppa ! Aku sudah mencetak gambarnya !” teriak Min Ah tepat berhenti di samping Kwangmin.
“Masuklah !” suruh Ji Hoon. Ia sudah tidak betah mendengar teriakan membosankan dari para anggota organisasi pelajarnya itu.
Di sisi lain, Yeong In tak memperdulikan suara-suara pekik itu. Ia masih bertanya-tanya dengan apa yang ia lihat barusan. Ia sudah melupakannya. Sudah lama. Tapi foto itu mengingatkannya lagi. Ditambah, ini adalah foto keluarga Ji Hoon. Apa hubungan mereka ?
Foto itu...
***
“Yeongie-a, apa gambar ini cocok untuk dijadikan logo festival ?” tanya Min Ah.
“Jung Yeong In, aku melihat ini seperti pusing sekali. Coba kau periksa, apa saja yang harus aku ganti ?” tanya Chunjo.
“Yeong In, kemarin pada waktu musim semi lebih bagus yang mana dengan musim dingin ?” tanya Min Ah lagi.
“Seperti inikan Yeongie ?” tanya Eunha.
“Ya ! Yeong In Minwoo, kenapa kau tidak menjawab pertanyaan kami ?” teriak Min Ah tepat di telinga Yeong In. Tapi, sayangnya gadis itu sama sekali tak peduli. Ia masih sibuk dengan pikirannya. Sebenarnya, ia dengar. Tapi, ia malas. Malas karena foto itu.
“Ish... Dia ini kenapa ?” tanya Kwangmin pada Min Ah. Terang saja ia ikut mengomel, karena biasanya ia bekerja sama dengan Yeong In dalam memperbaiki ataupun memberi usul pada anggota lain. Tentu saja ia tidak terima jika ia harus bekerja sendiri, melihat Yeong In hanya melamun dengan tatapan kosongnya.
“Jangan ganggu dia dulu,” ucap Ji Hoon pelan. Mereka semua yang ada di sana, kecuali Yeong In tengah berkumpul. Ji Hoon memberitahu apa yang telah terjadi.
“Ng, sunbae...,” suara Yeong In membuat seluruhnya menyebar seketika. Mereka terkejut dan kembali mengerjakan apa yang sepantasnya mereka kerjakan.
“Tak apa kan, aku pulang dulu. Nanti malam pasti aku akan datang,” Ji Hoon menatapi anggotanya, lalu beralih pada Yeong In.
“Tak apa. Kwangmin, tolong kau antarkan Yeong In,” ucap Ji Hoon pada kwangmin yang tengah asyik memainkan laptop milik kakak tingkatnya itu. Ia menoleh dengan ragu.
“Aku ?” tunjuk Kwangmin pada dirinya sendiri. Ia pura-pura linglung.
Yeong In menyadari sikap Kwangmin. Sedari awal mengenalnya, ia sudah menebak jika ia tak bisa akrab dengan lelaki itu. Ia pun segera memakai tasnya. “Aku bisa pulang sendiri, sunbae,”
Melihat air muka Yeong In yang terlihat sendu, akhirnya Ji Hoon membiarkan adik tingkatnya itu untuk pulang sendiri. Lagi pula, ini masih sore. Jadi, ia tidak begitu mengkhawatirkan gadis itu. Toh, ia sudah besar.
“A~ Keurae. Berhati-hatilah, Yeong In,”
***
Minwoo menatap sedih jalanan yang ada di hadapannya. Jalanan yang luas itu telah merubah hidupnya, bahkan sikapnya. Tak ada yang tahu, kecuali dirinya, Tuhan dan orang yang terlibat saat itu. Semuanya hilang, hilang dari hidupnya. Untuk kesekian kalinya, Minwoo mengingat lagi. Dirinya saat itu. Saat ia berada dipelukan sosok itu. Saat ia menangis di pundak sosok itu. Karena, hanya dialah yang ia punya, saat itu...
Minwoo’s POV
Apa semuanya akan berakhir sama ? Semua yang pernah kualami. Apakah akan kembali lagi ? Yang aku benci. Aku benci dengan itu. Rasa bersalah ini terus mengikutiku. Mengikutiku secara sembunyi-sembunyi. Dan, aku tak mau mengalaminya untuk yang kedua kalinya. Tidak mau.
“Inilah aku...,”
Aku merasa sesuatu telah berhasil mengisi hatiku lagi. Sesuatu yang sedari awal tak mau aku sebut ‘takdir’. Ini semua sangat berarti untukku, terlebih lagi arti dirinya bagiku. Dari awal aku bertemu dengannya, yang aku tahu hanya AKU MENYAYANGINYA. Namun, entah kenapa aku harus memperlakukannya seperti itu. Menjadikannya seperti Yeong In saat ini. Membuat seorang gadis selalu menunggu dan memperhatikanku. Hingga peristiwa itu memenuhi lubang kesalahanku. Membuatku menyesal dan merutuki kesalahan yang aku perbuat sendiri. Pada waktu itu, dua tahun yang lalu.
“Kalian benar-benar sama. Yeong In... Hae Na,”
Minwoo’s POV end
***
Kabut malam berserakan dan bergelayut dengan manja. Angin berhembus dengan santainya hingga menimbulkan helaan yang dingin. Kota Busan diselimuti hujan deras. Namun, itu beberapa jam yang lalu.
Yeong In sedang memakai sepatunya. Sisa hujan yang disebut gerimis itu, masih turun dengan cepat. Padahal, malam ini ia harus hadir di sekolah untuk mengikuti rapat yang dibimbing oleh Uhm songsaenim. Lelaki paruh baya itu adalah guru kesukaannya dari kelas satu, jadi bagaimana mungkin ia melewatkan waktu dengan guru itu. Sejam yang lalu, ia sudah menerima peringatan dari sang ketua, Ji Hoon, untuk bisa hadir dalam rapat. Mengingat acara festival tahunan sekolah akan segera digelar. Dia sangat berperan di acara itu, karena ia adalah wakil ketua panitia. Dalam acara itu, ia akan berdampingan dengan kakak tingkatnya yang berada di kelas 2, Park Jung Goo.
“Hujan lagi...,” gumam Yeong In lesu. Ia mengeratkan genggaman tangannya pada tas sandangnya. Dari aura wajahnya, kelihatannya ia sudah melupakan tentang foto yang ia lihat tadi siang di rumah Ji Hoon. Ia malahan tersenyum ceria saat menerima pesan dari Min Ah barusan.
“Ya ! Dia pikir aku penjual apel busuk, hahaha,” tawanya saat membaca pesan kedua Min Ah. Sebenarnya ia tak membalas pesan itu, tapi sahabatnya itu terus saja mengirimnya.
~Ada pesan...~ suara dering ponsel Yeong In kembali terdengar. Ia membuka pesan itu dengan semangat karena ia tahu pasti itu dari Min Ah. Tapi saat ia membaca pesan itu, ia merasa aneh. Dan ketika ia telusuri pengirimnya, matanya tiba-tiba membola. Ia terkejut, bahkan tidak percaya.
“Mi...Min...Minwoo !” teriaknya agak keras. Ia langsung membekap mulutnya, karena sadar ayahnya sedang tidur.
Yeong In masih menatap satu per satu huruf yang membentuk kalimat di layar ponselnya. Ia baca baik-baik. Berharap tidak ada yang salah. Atau matanya yang salah.
“Huwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,” teriaknya girang. Ia lampiaskan semuanya. Ia senang. Ia merasa senang. Yeong In pun meloncat-loncat aneh setelah menyadari bahwa itu benar-benar pesan dari Minwoo, kekasih hatinya.
“Eh, tapi tunggu dulu,” Yeong In kembali menatap ponselnya. “Biasanya dia menelfonku, tapi kenapa dia mengirim pesan ? Apa ia kehabisan uang ? Biasanya dia seperti orang kaya,” Yeong In kembali berpikir. Ia tak menyadari bahwa ia sudah terlambat 12 menit dalam acara rapat.
Yeong In mengibaskan tangannya di depan wajahnya,”Ah, apa pedulinya aku, yang penting Minwoo...AH ! Aku lupa membalasnya,”
Replay. KLIK !
“Aish, aku lupa dia tadi menanyakan apa, eoh ? Haah, kenapa aku mudah lupa sekarang ?” Yeong In merutuki dirinya sendiri.
Ia pun kembali membuka pesan Minwoo dan membacanya pelan,”Apa kau sudah makan ?”
“Makan ya ? Eoh, kenapa aku terlalu senang hanya karena ia menanyakan tentang makan ? Itukan tidak spesial,”
~Ada pesan~
“Pasti Minwoo,” secepat mungkin Yeong In membuka pesan itu lagi. Ia harap itu adalah pesan dari Minwoo lagi.
From : Min Ah
YA ! Sampai jam berapa kami harus menunggumu, Nyonya Jung ?
“Jam ?” Yeong In yang tersadar, langsung melihat jam dinding rumahnya yang terus berdetak. Seketika ia dibuat terlonjak ketika mendapati jam sudah menunjukkan pukul 19.40 KST.
“Aku terlambaaaaaaaaaaaaaaaaaaat !”
Plak bruk brak duk prak BRAK !!! Pintu tertutup dengan kerasnya.
***
Yeong In mengayuh sepedanya dengan cepat. Semua tenaga ia serahkan demi mengejar waktu. Belum lagi ditambah dengan jalanan yang menanjak dan menurun. Sesekali ia menghembuskan nafas lelahnya. Cuaca memang dingin, namun ia tetap saja mengeluarkan keringatnya.
“Sedikit lagi,” Yeong In menambah kecepatan laju sepedanya. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus saja berdering menandakan adanya pesan dan telefon. Yang ia pikirkan adalah ia harus sampai di sekolah dengan cepat. Ia tak mau membuat semuanya menunggunya terlalu lama. Tak peduli berapa kendaraan yang hampir saja menabraknya. Ia memang sedikit ceroboh.
Ciiiittt.... Yeong In memberhentikan sepedanya dengak cekatan. Ia segera menempatkan sepedanya di dekat pos satpam. Ia melihat deretan sepeda anak yang lain. Yang sangat ia kenali adalah sepeda Min Ah dan Kwangmin.
Dirasa aman dengan sepedanya, ia langsung berlari menuju ruang rapat yang berada di ujung koridor lantai dasar di dekat ruang lukis.
Dering ponsel Yeong In berbunyi lagi, ia pun langsung mengangkatnya tanpa melihat siapa si penelfon.
“Iya, aku sedang menuju ke ruang rapat. Kau ini cerewet sekali,” gerutu Yeong In yang ia tujukan pada Min Ah. Dipikirannya, pastilah gadis itu yang menghubunginya, karena biasanya ia seperti itu. Selalu.
“Cerewet ?” jawaban dari seberang yang bersuara laki-laki itu membuat Yeong In berhenti dengan tidak elit.
‘Ternyata bukan Min Ah’ gumamnya di hati. Saat ia lihat ponselnya, ia terkejut. Karena yang menelfonnya adalah Minwoo.
Yeong In kembali mendekatkan ponsel dengan telinganya,“A... Min...Minwoo-a, aku kira kau Min Ah, hehe,” Yeong In terkekeh hambar.
“Kau di sekolah, kan?” tanya Minwoo ketus. Yeong In menjawab,”Iya. Ada apa ?”
“Lanjutkanlah aktifitasmu. Aku ingin tidur,” lalu terdengar suara Minwoo menguap.
“Ah iya. Selamat tidur, Chagi,” ucap Yeong In lembut. Setelah itu, Minwoo tak menjawab malah menutup telfonnya.
Yeong In menghela nafas kesal,”Tidak romantis,” umpatnya. “Ya ! Rapaat !”
Yeong In kembali melaju dengan sisa tenaganya. Barusan, ia hampir tersungkur ke lantai. ‘Satu belokan lagi,’.
Tanpa ada rem yang menghentikan laju kakinya, Yeong In terus saja berlari. Ia tak peduli ia melihat apa, bayangan apa dan apa –apa yang ia lihat. Sekolah ini memang terdengar angker, tapi ketakutan itu ia lewati begitu saja.
BRAK ! Yeong In membuka pintu ruang rapat dengan kasar, membuat semua yang ada di sana terkejut.
“Annyeong,” sapa Yeong In.
***
Minwoo’s POV
Dia. Dia selalu membuatku repot. Malam-malam seperti ini harus ke sekolah ? Apa tidak ada waktu lain ? Siang ? Sore ? Dasar mereka saja yang memang ingin meninggalkan rumah mereka.
Aku benar-benar kesal dengan kesibukannya sebagai anggota organisasi pelajar. Gadis seperti dia harus tidur larut malam hanya untuk membuat proposal , mengurus logo, memperbaiki kerangka bahkan mencari ide. Dan yang paling tidak aku suka, karena hal itu dia sampai lupa untuk ‘makan’. Tubuh kurus seperti itu, apa dia tidak memperhatikan makanannya ? Jika sakit, aku paling malas untuk mengurusinya. Bukannya apa, tapi jika ulahnya seperti itu, otomatis aku harus perhatian padanya. Dan hal itu, aku tidak bisa memperlihatkannya. Aku tidak bisa.
Minwoo’s POV end
“Sepi sekali,” ucap Minwoo pelan saat ia baru sampai di muka sekolah. Ia edarkan pandangannya ke seluruh gedung di sekolah.
Seketika terdengar derap langkah seseorang.
“Kau mencari siapa ?” tanya satpam yang tengah berjaga malam itu. Minwoo menoleh.
“Aku menunggu seseorang. Apa bapak tahu, Yeong In ?” tanya Minwoo, kemudian ia melihat deretan sepeda di dekat pos satpam itu.
“Aku tidak tahu. Tapi, coba kau lihat sepeda-sepeda di sana, siapa tahu kau mengenal satu dari sepeda yang ada,” satpam itu menunjuk deretan sepeda yang dilihat Minwoo. Minwoo mengangguk.
“Aku sedang menunggunya, Pak. Itu sepedanya. Bolehkah aku menumpang di pos sampai dia pulang ?” Minwoo berharap satpam itu mengizinkan.
Akhirnya satpam itu mengangguk,”Silahkan,”
***
2 jam berlalu...
Minwoo masih saja setia menunggu Yeong In. Sekarang ia sedang duduk di kursi yang ada di depan pos satpam. Sang satpam sedang meminum kopinya, sambil melihat ke layar CCTV. Ia juga kadang ikut melihat.
Minwoo mulai bosan menunggu kekasihnya. ‘Sebenarnya ia rapat atau berjaga di sini ?‘ tanyanya sendiri. Tiba-tiba terlintas ucapan Yeong In seminggu yang lalu saat ia bertengkar dengan kekasihnya itu. Ucapan itu kembali merasuki pikirannya, jika ia sedang kalut. Kau pikir, aku melakukan ini karena apa ? Karena kau mempunyai sejuta fans ? Karena wajahmu ? Aku melakukan itu karena aku menyayangimu. Tak bolehkah aku peduli dengan orang yang tak pernah peduli denganku ?
“Ish... Apa aku seperti tidak peduli dengannya ?” tanya Minwoo pada hatinya. Ia sedikit frustasi mengingat kalimat itu.
“Ada yang bisa ku bantu ?” tanya satpam yang ada di belakang Minwoo. ‘Bapak ini mengira aku bertanya dengannya’
“Anira. Aku hanya ingin bertanya, apa mereka belum kel-“
BRUUMMM...
Kalimat Minwoo terpotong setelah mengetahui mobil guru Uhm melaju keluar dari gerbang sekolah diikuti beberapa anak lain yang mengayuh sepedanya. Namun, yang membuat ia terdiam menatap mereka semua adalah sepeda Yeong In. Kwangmin mendorong sepedanya sendiri dan sepeda Yeong In. Dibelakangnya ada Min Ah dan Jung Ho, teman sekelasnya.
Mereka tanpa Yeong In.
“Apa yang terjadi dengannya ?” gumamnya lirih.