CHAPTER 1 : I: Confession Of A Stranger
Time was passing like a hand waving from a train I wanted to be on. I hope you never have to think about anything as much as I think about you.
-Jonathan Safran Foer
^^^
Jaein baru saja mengumpulkan tugasnya sebelum berjalan ke kafetaria di depan studio. Ia memutuskan untuk menunggu kelas berikutnya ditemani buku sketsanya. Ia mengambil kursi di ujung ruangan seperti biasa -spot di sebelah jendela yang sudah menjadi bagian dari kebiasaannya sejak semester dua- lalu menekuni kegiatan rutinnya.
Namanya Kim Jongin. Beberapa orang mengenalnya sebagai Kai. Bukan seperti Han Jaein untuk punya perasaan khusus untuk seorang Kim Jongin. Bukan seperti dirinya pula, untuk bisa terperangkap dalam satu kebingungan yang menyenangkan bernama jatuh cinta.
Jaein menyelesaikan sketsanya lalu menghela napas. Lihat, kau memikirkannya lagi.
Bukannya Jaein tidak pernah menyukai seseorang sebelumnya, dan bukannya ia berharap perasaan ini bisa berkembang menjadi sebuah hubungan yang bukan satu arah. Sejak pertama kali berpapasan dengannya di tangga, ia tahu ia tertarik pada Kim Jongin. Ia tidak menyangkal bahwa ada sesuatu darinya yang membuat Jaein terus terperangkap.
Kim Jongin is definetely attractive, pikir Jaein. Ia punya fitur yang membuatnya mudah untuk digambar. Dan begitulah, pikirnya lagi. Baginya, ketertarikannya pada Kim Jongin hanya berhenti di situ. Ia hanyalah seorang penikmat seni yang tertarik pada satu lukisan di sebuah pameran. Tidak lebih. Lagipula akan selalu lebih mudah begitu. Ia tidak perlu berkutat dengan hal-hal melankolis yang merepotkan dan membuatnya lelah.
Dan sebuah ketidaksengajaan membuatnya mendapat alasan tambahan untuk tidak segera mengakhiri kebiasaannya untuk duduk di kursi pojok kafeteria dan berkutat dengan buku sketsanya. Sebuah buku sketsa yang perlahan selalu diisi oleh obyek yang sama.
Obyek yang lebih cocok berada pada buku sketsa mahasiswa jurusan seni daripada mahasiswa arsitektur. Tapi ia tidak berencana untuk berhenti secepatnya. Meskipun ia tidak berencana untuk memberitahu orang lain juga.
Secara tidak sadar, kebiasaan itu memberi tahunya banyak hal tentang Jongin. Seperti bahwa meskipun dengan wajah sepeti itu, ia ternyata bukan termasuk dalam golongan orang yang mudah bersosialisasi. Ia terlihat diam. Namun meskipun dengan kebiasaannya mengisolasi diri dari kerumunan, ia tidak mendorong orang-orang yang mencoba mendekatinya. Kadang ia terlihat ramah. Kadang ia terasa jauh dan tak terjangkau.
Dan mengetahui hal itu tidak serta merta membuat Jaein berencana mendekatinya. Ia menyukai keadaannya sekarang. Cukup dengan mengamatinya dari jauh. Cukup jauh untuk tahu bahwa Kim Jongin tidak mengenalnya.
“Yah!” Jaein tersentak kaget, berusaha senatural mungkin menutup buku sketsanya tanpa membiarkan siapapun melihat. Ia mendongak, menemukan wajah familiar berbingkai rambut coklat muda yang sedang menahan tawa.
“Oh, sunbae,” respon Jaein singkat.
Luhan mengambil tempat duduk di hadapannya, memblokir sebagian pandangannya dan terkekeh pelan. “Ekspresi kagetmu benar-benar menghibur, Han Jaein.”
“Hah?”
“Lupakan. Apa yang membuatmu begitu kaget memangnya?”
“Sunbae, tentu saja.” Jaein merespon sambil menunjuk Luhan membuat Luhan tertawa.
“Memangnya apa yang sedang kau gambar?” Luhan bertanya setelah berhenti tertawa. Sekarang ia terlihat seperti menahan senyum.
“Biasa,” jawab Jaein santai. Wajahnya menampilkan ekspresi yang sama dengan Luhan.
Dan betapa ia bersyukur ketika Luhan tidak berencana bertanya lebih lanjut atau mencoba merebut buku sketsanya untuk mengeceknya sendiri ketika Jaein sendiri tidak yakin apa ia dan Luhan berada di paham yang sama soal apa yang ia sebut ‘biasa’.
Lalu mereka melanjutkan obrolan sampai puluhan menit kemudian ketika Luhan menjentikkan tangannya di depan wajahnya ketika mata Jaein terfokus pada seorang yang beranjak lalu berlalu dari ruangan itu. Jaein kembali terfokus pada Luhan, tersenyum, lalu melanjutkan obrolan mereka seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Yang ia pikirkan adalah ia serius ketika ia berniat untuk tidak membiarkan orang tahu soal perasaanya. Tidak, bahkan untuk seorang figur kakak, teman, ataupun senior bernama Luhan.
^^^