CHAPTER 1 : Brother Bullet
Brother Bullet by Galaxysyf
Masih segar di ingatanku, seperti baru kemarin aku bertemu Taemin hyung untuk pertama kalinya. Saat kedua orang tua angkatku menjemputku dari panti asuhan yang sudah merawatku selama 6 tahun hidup pertamaku. Mengingat kembali bagaimana wajah Taemin hyung yang senang bukan main saat di hadapannya sudah tiba adik yang selama ini ia inginkan saat Ibu tak bisa mengandung lagi.
Saat itu Ayah sudah menyiapkan sebuah kamar untukku, tapi Taemin hyung tidak membiarkan aku tidur sendirian di kamarku. Dia justru menyuruhku tidur di kamarnya dan bersedia berbagi ranjang denganku. Sejak saat itu aku baru merasakan bagaimana rasanya punya kakak untuk pertama kali. Seorang kakak yang akan mengajari ku banyak hal, yang akan melindungiku dari apapun, dan yang akan selalu bersama ku.
Aku tumbuh bersama dengan Taemin hyung yang selalu bersamaku di setiap saat. Taemin hyung lah yang menjadi panutanku selama ini. Dia mengajariku bagaimana menjadi anak terbaik sepertinya. Bagiku, dia adalah kakak yang sempurna. Tak ada orang lain yang sebaik dia. Dia lah kakakku sekaligus idolaku.
Kami beranjak remaja saat aku lulus dari sekolah menengah pertama dan ingin melanjutkan pendidikanku. Taemin hyung menyarankan aku untuk masuk ke akademi kepolisian. Dia tahu betul kalau aku ingin menjadi seorang polisi. Dia juga tahu alasan tentang hal itu. Ayah dan Ibu juga sangat mendukungku. Meski awalnya aku tak yakin karena aku akan tinggal di asrama untuk waktu yang, menurutku, cukup lama. Tapi Taemin hyung bilang padaku kalau dia ingin melihatku sebagai orang yang hebat nanti meski harus terpisah untuk waktu yang lama. Mendengar anjuran Taemin hyung, aku jadi yakin dengan keputusanku dan cita-citaku.
Aku pun pergi tanpa ada perasaan ragu.
Rasanya seperti berjuta-juta tahun aku tinggal di asrama. Tanpa ada kontak sedikit pun dari luar termasuk dari Taemin hyung yang ku rindukan setengah mati. Aku rindu bercanda dengannya. Ku akan selalu menyesali waktu bersamanya yang ku lewatkan. Tapi aku tetap ada di tempat itu, menuntaskan apa yang ku mulai untuk membuat Taemin hyung bangga pada ku nanti.
Waktu itu pun datang saat aku kembali ke rumah. Ku sengaja tak bilang pada siapa pun, Ayah, Ibu, termasuk Taemin hyung. Aku ingin memberikan kejutan pada mereka. Saat itu, Ibu adalah orang pertama yang menyambutku dengan gembira. Akhirnya aku bisa bertemu dengan wanita yang telah bersedia merawatku itu. Tetapi saat aku bertanya dimana Taemin hyung, Ibu justru menangis.
Ibu bercerita, semakin lama sifat dan sikap Taemin hyung semakin buruk. Dia sering melawan perkataan Ayah dan Ibu. Dia juga sering bolos sekolah, mabuk-mabukan, selalu pulang pagi, bahkan tak jarang dia sampai tak pulang. Saat ku tanya kenapa Taemin hyung sampai seperti itu, Ibu bilang dia tidak tahu kenapa. Dia berubah sebegitu drastisnya tanpa ada yang tahu kenapa. Dan puncaknya adalah saat Taemin hyung pergi dari rumah, tak pernah kembali sampai sekarang.
Ayah dan Ibu sudah mencari Taemin hyung kemana-mana. Ke rumah temannya, ke sekolah, bahkan Ayah sudah melapor ke polisi. Tapi tetap saja mereka tak menemukannya.
Orang yang diceritakan Ibu tak terdengar seperti Taemin hyung yang ku kenal. Hatiku hancur lebur saat itu. Keinginanku untuk menghapus rindu dengan kakakku sirna begitu saja. Orang yang ku kenal paling sempurna kini tedengar seperti orang asing bagiku. Antara percaya dan tidak mendengar hal itu.
Saat itu juga Ibu berkata kalau hanya aku yang ia punya sekarang. Ayah juga bilang kalau aku lah satu-satunya harapan mereka. Karena Taemin hyung sudah pergi. Pergi dan tak akan kembali lagi ke keluarga ini.
Berberapa tahun kemudian—setelah aku menjadi seorang polisi kota—akhirnya aku bertemu lagi dengan Taemin hyung. Tapi bukan Taemin hyung yang kukenal dulu dan bukan dengan cara yang mengharukan seperti selayaknya kakak-beradik yang lama tak berjumpa.
Ku temukan Taemin hyung yang bersama dengan teman-temannya merampok sebuah bank besar di pusat kota. Tapi saat itu, dia dan teman-temannya berhasil kabur dan aku tak sempat untuk bertemu dengannya secara langsung. Penampilannya tak seperti Taemin hyung lagi. Rambutnya yang dulu hitam dan selalu tertata sesuai dengan gaya yang sedang tren, kini ia cat pirang dan dibiarkannya tumbuh panjang dan berantakan. Pakaiannya yang dulu casual dan sopan, sekarang seperti pakaian anak berandal, dengan jaket dan celana kulit hitam yang terlihat sangat tak sopan.
Saat itu aku tak percaya kalau selama ini Taemin hyung sudah menjadi seorang kriminal. Padahal dulu dia sendiri bilang padaku kalau dia akan menjadi orang baik yang akan selalu menolong orang-orang. Bahkan dia sendiri yang menginginkan dan mendorong ku untuk menjadi seorang polisi yang bisa menegakan kebenaran.
Hingga akhirnya aku benar-benar bertemu dengannya saat ini.
Dulu Taemin hyung pernha berkata, dia tidak akan pernah mau menggunakan senjata apapun apalagi sampai menyakiti orang lain, termasuk aku. Tapi kenyataannya, justru dia menodongkan sebuah pistol padaku sekarang. Dan kenyataan lain yang cukup menyebalkan adalah aku juga tak kalah munafik darinya.
Aku pernah berjanji pada diriku sendiri kalau aku tidak akan pernah menyakiti kakakku yang amat ku sayangi itu. Tapi ternyata aku juga melakukan hal sama seperti kakakku. Tapi tanganku jadi gemetar karena aku sendiri takut. Aku takut jika aku benar-benar akan menembak kakakku.
“Kenapa, hyung? Kenapa kau jadi seperti ini?”
Dia hanya diam dengan posisinya yang tetap seperti sebelumnya; menodong ku dengan tangan kanannya. Dengan wajahnya yang dingin menatapku. Rasanya aku sedang tidak berdiri di hadapan kakakku.
“Kau yang selama ini mengajarkanku banyak hal-hal baik. Kau selalu menjadi panutanku. Mulai dari saat pertama kita bertemu sampai aku akhirnya masuk akademi karena bujukanmu. Tapi kenapa kau justru melakukan yang sangat bertolak belakang dengan apa yang kau ajarkan padaku?”
“Manusia bisa berubah, Jongin.”
Akhirnya dia bicara. Ini kali pertamana aku mendengar suaranya lagi yang kini terdengar sangat dingin di telingaku. Suaranya berhasil membuat bulu kudukku merinding semua. Padahal dulu, suaranya bisa membuatku merasa tenang dan aman.
“Aku bukan kakak yang sempurna seperti yang kau kira selama ini. Jangan tanya kenapa.”
Dia memang bukan kakak yang sempurna lagi untukku. Tapi dia tetap lah kakakku. Kakak yang selama ini telah menjaga dan mengajariku banyak hal hingga aku bisa seperti ini.
“Hyung, Ibu dan Ayah mencari mu kemana-mana. Mereka sangat mencemaskanmu. Mereka tak bisa tenang jika belum bertemu kau. Tapi bagaimana perasaan mereka saat mereka tahu kau seperti ini, hyung—“
“Jangan panggil aku hyung! Aku bukan kakak kandungmu, ingat? Ayah dan Ibu juga bukan orang tuamu. Iya, kan? Jadi jangan bertingkah kau ini keluargaku.”
Dia memotong perkataanku dengan kata-katanya yang menusuk hatiku. Kenapa Taemin hyung bilang seperti itu? Dia bicara seolah dia tidak pernah menginginkanku ada di dalam keluarga. Padahal dia sendiri yang inginkan aku ada di keluarganya sebagai adik yang selalu ia inginkan.
“Tapi hyung—“
“SUDAH KU BILANG JANGAN PANGGIL AKU HYUNG!!!”
Aku diam terpaku. Ini pertama kalinya dia membentak ku seperti ini. Dia tak pernah berkata keras padaku apalagi sampai membentak seperti ini. Dia bukan lagi Taemin hyung kukenal. Dia tak seperti kakakku.
“Kau ingin tahu kenapa aku jadi begitu? Setelah kau pergi ke akademi, yang Ibu pikirkan hanya kau. Hanya kau. Kenapa? Karena dia merasa bangga punya anak yang akan menjadi seorang polisi dan bisa menjadi kebanggan keluarga. Yang dia pikirkan hanya kau. Yang dia cemaskan hanya kau. Kau dan kau saja. Dia seolah sudah melupakanku. Dia lupa kalau masih ada aku, anak kandungnya.”
Lagi lagi aku diam. Benarkah Ibu begitu? Hanya memikirkan aku dan melupakan Taemin hyung? Tidak. Itu pasti tidak mungkin.
“Dulu mungkin Ibu akan menganggapku yang paling baik, yang bisa dijadikan contoh. Tapi setelah kau pergi ke akademi, Ibu justru menganggapmu yang paling baik dan hebat. Karena dia tahu bagaimana sulitnya tes untuk masuk akademi kepolisian dan kau berhasil lolos. Dan jika aku melakukan kesalahan, dia langsung akan membawa namamu yang dia pikir lebih baik. Dia bahkan berharap kaulah anak kandungnya, bukan aku.”
Taemin hyung mengatakan hal-hal itu dengan penuh emosi. Emosi yang ditujukan pada ku. Meluapkan perasaan kecewanya selama ini sampai dia menjadi seperti sekarang. Tapi bagaimana hal seperti itu bisa merubahnya? Merubahnya sampai seperti ini.
“Bahkan saat aku gagal menjadi peringkat pertama di ujian akhir sekolah, kau tahu Ibu bilang apa? Dia bilang, kalau aku tak bisa lagi diharapkan! Yang bisa ia harapkan hanya kau. KAU!”
Dia berteriak sambil terus menunjuk-nunjuk ke arahku pistolnya dengan penuh amarah. Aku mengerti sekarang, dia begitu karena aku. Karena aku yang hadir di keluarga. Tapi benarkah sebegitunya? Sebegitunya dia membenciku sekarang?
“Kenapa denganmu, Jongin? Kenapa kau tidak mengatakan apapun? Kau mulai berpikir kalau semua ini salahmu. Iya kan? SEMUA INI MEMANG SALAHMU!”
Hidunganya mulai merah dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Dia ingin menangis, aku tahu itu. Tapi dia tetap berusaha untuk menahan agar air matanya tak jatuh. Aku pun juga merasakan hal yang sama, ingin menangis meski aku tidak ingin ia tahu.
“Tapi.. bukankah kau sendiri yang bilang kalau kita ini saudara meski aku bukan adik kandungmu. Kita akan selalu menjadi saudara apapun yang terjadi. BUKAN KAH KAU DULU BILANG BEGITU, HYUNG?”
“MEMANG! Aku memang bilang begitu. Tapi sekarang ku tarik lagi ucapanku itu. Ku tarik lagi perkataanku tentang kita yang bisa jadi saudara. Ku sesali keinginanku yang ingin punya seorang adik. Karena sekarang aku ini menderita. Aku jadi seseorang yang terbuang. Menjadi sampah masyarakat. Dan tebak semua ini karena siapa? KARENA KAU, JONGIN! SEHARUSNYA AYAH TAK PERNAH MEMUNGUTMU DARI PANTI ASUHAN SIALAN ITU!”
Spontan tanganku melayang memukul wajahnya keras. Perkataannya terlalu menyakitkan. Dia berhasil menusuk setiap bagian dari hatiku hingga rasa sangat menyakitkan. Kalau dia memang tak menginginkan ku, kenapa tidak dari awal saja? Dia tidak perlu meminta seorang adik jika akhirnya akan seperti ini.
Dia menatap ku tajam—tak terima dengan perlakuanku padanya. Ia membalasku dengan hal yang sama hingga bagian kiri wajahku terasa sakit akibat pukulannya. Silahkan saja dia memukul ku sampai dia puas. Aku tidak akan pernah keberatan.
“Kau harus membayar semuanya! KAU HARUS MEMBAYAR SEMUANYA, JONGIN—“
“KALAU BEGITU BUNUH SAJA AKU, HYUNG!!”
Ya, bunuh saja aku sekalian jika itu akan membuatnya merasa lebih baik. Jika begitu bisa membuat ku membayar semua yang terjadi padanya. Bagaimanapun juga Taemin hyung tetaplah kakakku meski dia sudah tak menaggap sebagai adikku.
“Bunuh saja aku jika itu bisa membuatmu lebih baik.”
“Tidak.”
Tidak?
“Membunuhmu tidak akan menyelesaikan masalah dan menghentikan semua penderitaanku.”
Dia memberi jeda untuk kalimatnya sebelum dia akan melanjutkan perkataannya. Dia mencoba berdiri tegap saat ini seolah berusaha mengumpulkan semua nyalinya yang seolah akan hilang. Melihatnya begitu, perasaanku jadi semakin takut. Aku takut jika Taemin hyung meminta sesuatu yang buruk.
“Jika kau masih menganggapku kakakmu, maka bunuh aku sekarang.”
“A-apa?”
Ini tidak salah? Dia meminta ku membunuhnya saat dia tahu kalau aku tidak akan mungkin menyakitinya bahkan sampai membunuhnya. Apa maksudnya?
“Hentikan penderitaanku ini, Jongin! Bunuh aku!”
“TIDAK! Aku tidak akan membunuhmu, hyung. Meski kau tak anggap aku adikmu lagi, kau tetap kakakku sampai kapanpun. Aku tidak akan membunuh mu.”
Aku tidak akan membunuhnya. Tidak akan pernah.
“Aku bukanlah kakak terbaik untuk mu, Jongin. Kau tak layak menjadi adikku—memiliki kakak seorang kriminal tak pantas untukmu. Sekarang, BUNUH AKU!”
Kenapa dia memaksaku begini? Apa dia benar-benar ingin mati? Tidak. Mungkin dulu aku akan menuruti semua perintahnya dan apapun yang ia minta akan ku laksanakan. Tapi tidak untuk yang satu ini. Aku tidak mau menggunakan senjataku yang masih ku pegang ini untuk membunuhnya.
“Tidak mau!”
“BUNUH AKU ATAU KAU YANG KU BUNUH!”
Aku tak kuat lagi. Tak bisa lagi ku bendung air mataku. Aku menangis karena aku tak bisa menurutinya kali ini untuk pertama kali seumur hidupku. Aku tidak bisa mengangkat pistolku meski Taemin hyung terus mendesakku. Karena aku tidak bisa.
“Angkat senjatamu, Jongin. Jika kau memang adikku, maka angkat senjatamu. Kali ini aku memohon padamu… Hentikan penderitaanku! BUNUH AKU!”
“Aku… Aku tidak bisa. Aku tidak akan membunuhmu, hyung. Aku tak akan bisa…”
Sudah sering ku gunakan pistolku ini, tapi kali ini rasanya aku sedang membawa sebuah benda dengan berat lebih dari 100 kg—berat sekali. Untuk mengangkatnya sangat sulit bagi ku. Karena aku tidak bisa. Aku tidak bisa jika dipaksa untuk membunuh orang yang punya pengaruh besar di dalam hidupku.
“Baiklah.”
Ku lihat dia menodongkan kembali pistonya padaku. Mungkin kali ini dia akan benar-benar membunuhku. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan Taemin hyung menarik pelatuk senjatanya. Hingga pada akhirnya aku juga mengangkat senjataku lurus, tapi tak pernah aku berniat untuk menembak. Untuk mengangkat senjataku ini saja sudah susah, apalagi sampai menembak.
“Kalau kau tak mau, aku yang akan membunuhmu. Jangan salahkan aku di alam sana nanti tentang hal ini!”
Kenapa jadi begini? Kenapa Taemin hyung harus mendesakku sampai seperti ini?
Badanku jadi bergetar semua, terlebih jari telunjukku yang sudah tersangkut di pelatuk senjataku. Wajahku sudah dibanjiri oleh keringat dingin saat kedua hyungiku hampir tak lagi bisa menopang tubuhku. Tak lagi bisa ku deskripsikan perasaanku sekarang ini. Semuanya bercampur aduk jadi satu. Aku tak tahu lagi harus bagaimana sekarang.
“Akan ku hitung sampai 3 untuk menembak, Jongin. Jika kau tak menembak, maka kita akan tahu siapa yang akan mati jika bukan aku.”
Apa? Tidak. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa.
“Satu.”
Dia mulai menghitung, tapi ku tak bisa berbuat apa-apa. Aku terlalu takut untuk menekan pelatuk dengan jariku sendiri. Aku terlalu takut untuk melawan Taemin hyung. Bahkan di saat-saat begini aku menjadi sadar, selama ini aku takut sendiri. Melakukan sesuatu sendiri, memutuskan sesuatu sendiri dan untuk menjadi sendiri. Karena selama ini ada Taemin hyung yang selalu ada untukku. Dan sekarang aku harus membunuhnya? Lagi lagi aku terlalu takut untuk hal itu.
“Dua..”
“Tidak, hyung… Aku tidak bisa.”
Aku menangis? Aku memang menangis. Menangisi diriku sendiri yang terlalu payah dan pengecut untuk menembak seorang kriminal yang merupakan kakakku sendiri— yang lebih tepatnya kakak angkat. Tak berani aku menatapnya. Aku terlalu lemah untuk saat ini.
“Ayo, Jongin! Untuk apa kau menjadi seorang polisi, tapi tak bisa menembak seorang kriminal. Hah? Bukankah kau berjanji ingin membuatku bangga saat kita bertemu lagi setelah kembalinya kau dari akademi? Ini saatnya untuk menepati janjimu itu. Sekarang, tembak aku.”
“SUDAH KU BILANG AKU TIDAK BISA!!”
Masa bodoh dengan janjiku itu. Aku tidak akan menembak Taemin hyung meski dia mengungkit janjiku yang seharusnya tak ada hubungannya dengan ini semua. Bahkan saat aku takut untuk mati sekarang, aku tak punya cukup nyali untuk membunuh kakakku itu. Tidak akan.
“TIGA!”
Ku lihat dia mencoba menekan pelatuknya, tapi seketika dan secara spontan aku menembak duluan. Terdengar suara tembakan keras memenuhi ruangan tempat kami berada. Aku tahu, peluruku telah mengenai dada Taemin hyung tapi aku sempat melihat percikan api keluar dari mulut pistolnya. Ku lihat dia ambruk di hadapanku. Tidak tak lagi bergerak. Apa dia sudah mati?
Tidak mungkin! Aku benar-benar menembaknya. Aku membunuhnya. Tidak. Aku melanggar janjiku sendiri. Aku tidak mungkin membunuhnya. Taemin hyung tak mungkin tewas di tangankun. Tidak mungkin. Hyung—
Argghh…
Kenapa ini? Kenapa tiba-tiba aku merasakan sakit? Membuat niatku untuk menghampiri hyung gagal. Sakitnya luar biasa sampai aku tak mampu lagi untuk berdiri. Perutku. Rasanya sakit sekali; perih dan terasa panas. Seolah tertusuk ratusan jarum panasa berkali-kali. Tak pernah kurasakan rasa sakit seperti ini sebelumnya dan rasa sakit ini semakin lama semakin membuat tubuhku lemas. Setiap kali ku coba untuk bangkit, tubuhku terlalu lemah untuk mewujudkan keinginanku itu.
Mungkinkah aku tertembak?
Taemin hyung… Dia berhasil mengenaiku.
Aku terjatuh ambruk begitu, terbaring di atas dinginnya lantai semen yang penuh dengan debu kotor, persis sama dengan yang terjadi pada Taemin hyung. Aku tak mampu lagi untuk bediri. Tenagaku berkurang sangat cepat hingga kurasakan semua kekuatanku hilang dalam sekejap.
“Jo—Jongin?”
Kakak masih hidup. Ku dengar suaranya memanggilku lemah. Aku bisa melihatnya masih bernafas meski darah segar mulai mengalir dalam mulutnya—keluar dari dalam tubuhnya. Kedua matanya menatapku yang juga sama tak berdayanya seperti dia. Aku tahu dia sedang sekarat dan itu karena ulahku. Tapi dia masih bisa tersenyum padaku.
“Maaf—maaf aku menembakmu… Aku ingin menarik… semua ucapanku.” Bicara saja sudah sangat berat untuknya sekarang. “Tak pernah sedetikpun… aku... membencimu. Kau adalah adikku sampai kapanpun, Jongin. Semua ini… tidak ada... hubungannya… denganmu. Maafkan aku. Aku bilang begitu supaya kau membenciku…”
Aku tahu, Taemin hyung tidak pernah benar-benar membenciku. Aku tahu itu.
“Aku juga minta maaf karena menembakmu, hyung. Itu adalah kesalahan terbesarku padamu sebagai seorang adik.”
Tak lagi ku dengar Taemin hyung membalas. Tak lagi ku lihat dia membuka matanya. Semua jadi begitu sepi dengan ruangan yang kini penuh dengan bau amis darah. Yang bisa ku dengar hanya suara burung yang rasanya seperti lagu kematian untukku. Aku sadar, kakak sudah pergi. Aku juga yakin, aku akan segara menyusulnya. Entah berapa lama aku bisa bertahan, abdomenku sudah mati rasa.
Aneh sekali. Aku sama sekali tak bersedih atau hanya sekedar meneteskan air mata. Karena yang ku lihat sekarang adalah wajah Taemin yang seperti sedang tertidur pulas; tenang dan damai, bebas dari segala penderitaannya. Aku senang dia tak harus lagi menderita.
Ironi sekali kalau persaudaraan kami harus berakhir seperti ini.
Entah kenapa, tiba-tiba aku jadi teringat apa yang pernah Taemin hyung katakan padaku sebelum aku pergi ke akademi. Kata-kata yang membuatku yakin kalau persaudaraanku dan Taemin hyung akan terus terjalin hingga akhir, apapun yang terjadi.
“Brothers are brothers. And Brothers are one. We are always one until the end.”
Saudara adalah saudara. Dan saudara itu satu. Kita selalu satu sampai akhir.
Kini aku dan Taemin hyung bisa membuktikan hal itu. Aku bisa benar-benar yakin atas persaudaraan kami. Aku tahu, Taemin hyung tak mungkin mengingkari kata-katanya dan dia telah membuktikannya sekarang. Meskipun dia mengeluarkan kata-kata yang menunjukan seolah dia akan mengingkari semua yang ia janjikan.
Kami akan selalu bersama. Terus menjadi saudara sampai akhir. Kami tumbuh bersama, hidup bersama, dan bahkan mati bersama.
Terima kasih, hyung.
____
Jasad kedua saudara itu ditemukan berberapa jam setelah Jongin menghembuskan nafas terakhirnya—saat taka da kabar lagi yang didapatkan markas pusat kepolisian Seoul dari polisi itu. Mereka ditemukan tewas dengan luka tembak di tubuh mereka—di lokasi fatal yang mampu membuat mereka tak bisa bertahan lebih lama untuk bersama kembali setelah berpisah. Kenyataan bahwa ternyata seorang polisi terbaik dan seorang kriminal terburuk adalah sepasang saudara membuat gempar berberapa pihak. Disaat Jongin dianggap tewas sebagai seorang pahlawan, sementara Taemin mati sebagai penjahat. Dan berita ini menyebar luas ke seluruh penjuru negeri yang ingin—atau tidak— mendengar tentang kisah Jongin dan Taemin.
Kisah yang sangat langka terjadi di kehidupan persaudaraan di dunia ini. Banyak orang yang mampu menyimpulkan sebuah makna dari kisah ini. Bahwa saudara akan tetap bersaudara apapun yang terjadi. Persaudaraan sejati akan terus berlangsung sampai salah satu atau bahkan keduanya pergi. Karena layaknya cinta yang sejati, hanya maut yang mampu memisahkannya. Begitu juga persaudaraan yang terkadang kekuatannya melebihi cinta sejati.
End