CHAPTER 2 : Second
Do Kyungsoo dengan segala jenis amarah yang dipendamnya, telah duduk manis di ujung kursi panjang di ruang ganti tim sepak bola. Sementara itu, Junmyeon yang duduk di sebelahnya, menghentak-hentakkan kaki untuk sekedar menghilangkan rasa penat. Sekarang hampir pukul empat sore, tetapi pelatih Jung dan Han Saerin belum datang.
“Kyungsoo-ya… kau harus ingat satu hal. Jangan membuat pelatih memilih jalan sportif. Itu sama saja dengan mengurangi peluang kepergian Han Saerin.”
Sambil mengangguk, Kyungsoo menjawab singkat. “Ne.”
“Aish! Mereka lama sekali! Apa menurutmu Saerin menahan pelatih di suatu tempat dan memaksanya menyetujui pembentukan tim sepak bola putri?” tanya Junmyeon sambil menyikut lengan Kyungsoo.
“Tidak mungkin, Sunbae.” Kyungsoo menoleh ke arah pintu dan mulai bertanya pada dirinya apakah kedatangannya sore ini akan sia-sia. “Saerin memang termasuk gadis yang kasar. Tetapi dia tidak akan mencurangi orang lain.”
“Seperti saat insiden hamburger itu?”
Kyungsoo ingin mengangguk, tetapi urung dilakukan. “Bisa iya, bisa juga tidak.”
Junmyeon yang penasaran, mulai memilah-milah memori mana yang berhubungan dengan Saerin, hamburger, dan Kyungsoo. Setelah beberapa detik, kilasan tentang perjalanan sepulang latihan sepak bola menjadi dominan di otaknya. Kyungsoo berjalan di belakangnya dengan wajah penuh peluh, sama seperti dirinya.
“Saat itu kau sangat ingin makan hamburger setelah latihan fisik dari pelatih Jung.” Junmyeon berkedip tiga kali, lalu kembali mengingat bahwa mereka berpisah di tengah jalan. “Kau tetap pergi ke restoran fast food itu dan bertemu dengan Saerin?”
“Ne. Kami bertemu di depan restoran dan memutuskan untuk makan bersama. Kau bisa menyimpulkan apa yang terjadi selanjutnya, Sunbae. Kami sama-sama memesan menu hamburger yang tinggal 1 porsi.”
Kyungsoo mendapati fokusnya teralihkan pada mantan rekan timnya yang sedang mengatur plan B di tengah-tengah ruang ganti. Ia sempat mendengarkan sedikit. Usulan yang tampaknya disetujui adalah mogok berlatih. Tetapi menurut Kyungsoo, usulan itu bisa menjadi bumerang jika mantan teman setimnya ingat tentang pekan olahraga antar SMA bulan depan.
“Mogok berlatih tidak akan membantu, Sunbae. Sebaiknya kau katakan pada mereka,” ucap Kyungsoo sambil menunjuk kerumunan tim sepak bola dengan dagunya.
Junmyeon mengangguk-angguk. Ia lantas menyandarkan punggung dan memejamkan mata untuk beberapa saat. Sambil menikmati teriakan setuju dari teman satu timnya, pemuda itu terkekeh. “Mereka tidak akan melakukannya. Kau tahu itu, Kyungsoo-ya. Pelatih Jung dan aku tidak akan membiarkan mereka mogok berlatih.”
Kyungsoo menatap sinis seniornya itu. Ia masih ingat bagaimana penderitaan tubuhnya akibat melanggar peraturan yang dibuat Kim Junmyeon tentang terlambat datang ke tempat berlatih. “Kau masih memegang rekor sebagai kapten terkejam, Sunbae.”
Ketika Junmyeon tertawa keras dan membanggakan prestasinya, pintu ruang ganti terbuka. Pelatih Jung yang masuk sambil meniup peluit, membuat seluruh anggota tim berdiri tegak dan membentuk baris yang saling berhadapan. Kyungsoo yang terbawa suasana, ikut melakukan hal yang sama. Kini ia berdiri di posisi lamanya, berhadapan dengan Junmyeon.
“Kurasa kalian sudah berbicara banyak,” mulai pelatih Jung. “Aku tahu jika kalian tidak menyetujui pengajuan Han Saerin. Tetapi pernyataan sepihak terasa tidak adil. Tidak sportif. Itu sebabnya rapat ini diadakan. Dan sepertinya kalian sudah membawa juru bicara kalian.”
Kyungsoo yang menyadari tatapan mengerikan pelatih Jung, segera memberi salam. “Lama tak bertemu, Pelatih.”
“Aku tidak tahu harus senang atau marah dengan kedatanganmu di sini, Do Kyungsoo.” Pelatih Jung berjalan ke arah Kyungsoo dan berhenti tepat di hadapannya. “Asal kau tahu saja, aku belum merelakan kepergianmu dari tim akhir musim panas lalu. Jadi jangan berharap aku akan berbaik hati.”
“Ne.”
Kyungsoo tidak bisa berkata lebih. Semua hal yang dikatakan pelatih Jung memang benar. Pelatih Jung pantas kecewa karena ulahnya itu. Tetapi Kyungsoo tidak berniat menarik ucapan pengunduran dirinya. Hal itu tidak akan pernah terjadi.
“Han Saerin dan temannya ada di luar ruangan. Kuharap kalian bisa menjaga sportifitas dan tidak mempermalukanku sebagai pelatih. Mengerti?!”
“Ne!”
Saerin dan dua orang temannya masuk ke dalam ruang ganti setelah dipersilahkan pelatih Jung. Kyungsoo mengenal mereka. Seorang di antaranya satu kelas dengan Kyungsoo, Park Byunhee, sedangkan gadis dengan rambut ikal panjang itu adalah sahabat Saerin, Kim Hana. Tingkat menyebalkannya hampir sama, tetapi Han Saerin masih berada di peringkat pertama.
Hana membuka rapat dengan kalimat basa-basi yang membuat Junmyeon menguap lebar. Hal itu segera ditirukan oleh separuh anggota tim sepak bola. Tetapi mereka serempak berhenti ketika pelatih Jung meniup peluit dan meneriakkan kata sportifitas dengan keras.
“Kami ingin mengajukan pembentukan tim sepak bola putri,” ucap Saerin, tegas. Gadis itu menatap setiap manik mata anggota tim sepak bola sekolahnya. Ketika sampai pada Do Kyungsoo, senyuman sinis terbentuk otomatis. “Kami menginginkan kesetaraan gender. Bukankah sudah banyak tim sepak bola sekolah lain yang juga memiliki tim sepak bola putri?”
Kyungsoo yang tidak bisa menahan diri, berbicara dengan nada datar. “Sepak bola tidak ada hubungannya dengan kesetaraan gender. Soft skill dalam mengolah bola dan team work barulah memiliki hubungan.”
Tak mau kalah, Saerin membalas. “Bukankah itu berarti kami bisa bergabung? Kau bilang sepak bola tidak memerlukan gender.”
“Lalu bagaimana dengan soft skill?” Kyungsoo melipat kedua tangannya di dada, sementara rahangnya menggertak keras. Ia ingin melumat Saerin hidup-hidup. “Han Saerin… Saat pelajaran olahraga, kau lari dari bola baseball yang datang ke arahmu. Jangan menyangkal karena kau pernah menabrakku saat menghindarinya. Kau takut sakit karena terkena bola. Lalu kau, Kim Hana… haruskah kukatakan bahwa kau phobia terhadap benda-benda yang berbentuk bulat? Dan jangan membuatku mengatakan apa kekuranganmu juga, Park Byunhee.”
Satu poin untuk Kyungsoo, kosong untuk Saerin. Sorakan keras tim sepak bola tidak dihentikan pelatih Jung yang terkejut oleh perkataan Kyungsoo. Pelatih yang sudah bekerja selama 5 tahun di sekolah Kyungsoo itu menatap Kim Hana. Bagaimana pun juga, ia heran mengapa ada phobia seaneh itu di dunia.
“Ada apa denganmu, Han Saerin? Kehilangan alasan?” tanya Kyungsoo, mengejek.
Saerin merasakan kepalan tangannya menguat, begitu pula dengan kepalanya yang berdenyut menyakitkan. Ia benar-benar ingin menggigit telunjuk Kyungsoo yang mengarah padanya, hingga putus. Atau, Saerin bisa menerjang Kyungsoo sekarang juga dan mencakar wajah tanpa ekspresi itu.
“Tentu saja tidak!” Saerin berusaha mengembalikan kepercayaan dirinya dengan mengangkat dagu tinggi-tinggi. “Kau tidak bisa menilai seseorang berdasarkan masa lalunya! Kami sudah… berubah. Ya, kami sudah berubah!”
Kyungsoo mengangkat sebelah alisnya. “Berubah? Oh ya? Lalu di mana power rangers-nya? Kau ini berubah menjadi power rangers warna apa, Han Saerin? Merah? Hitam? Biru? Atau kuni─”
“Do Kyungsoo! Sportifitas!”
Pelatih Jung terpaksa melepaskan tawanya melalui teriakan itu. Jika saja ia kehilangan kontrol dan ikut tertawa lepas seperti para anak didiknya, reputasinya sebagai pelatih terbaik pasti akan merosot dengan cepat. Tidak. Ia tidak akan terpancing oleh komentar aneh Do Kyungsoo. Lagi.
“Do Kyungsoo… kau pikir mengejek orang lain akan menyelesaikan masalah, huh?!” Pelatih Jung menggeleng. Ia lantas menengahi Kyungsoo dengan Han Saerin. “Aku tahu akan seperti ini hasilnya jika kalian berdua bertemu. Jadi… bagaimana jika kita selesaikan perdebatan ini secara sportif?”
Baik Kyungsoo maupun Saerin mengerti apa yang dimaksud oleh pelatih Jung. Keduanya memberikan reaksi yang berbeda. Kyungsoo melangkah mundur sambil merutuki nasib sialnya, sedangkan Saerin mengangkat tangannya dan mengatakan bahwa ia setuju dengan usulan pelatih Jung yang belum diungkapkan.
“Do Kyungsoo, Han Saerin… Karena kalianlah wakil dari debat ini, maka kalian yang harus bertanding 3 putaran tanpa ada bantahan. Jadi… sampai jumpa 2 hari lagi di lapang─”
“Andwae!” Kyungsoo yang kalut, berteriak tanpa memikirkan kesopanan yang ia junjung tinggi. Tetapi ini usaha terakhirnya. “Pelatih Jung, aku bukan bagian dar─”
“Bukan bagian dari tim?! Apa itu yang ingin kau katakan, huh?!” Pelatih Jung mendengus kesal. “Jika kau bukan anggota tim, lalu apa yang kau lakukan di sini, Do Kyungsoo?! Mengapa kau masih mencampuri urusan tim sepak bola?!”
“G..guenyang…”
Pandangan Kyungsoo merosot hingga terhenti di ujung sepatunya. Pertanyaan pelatih Jung berulang kali melewati liang telinganya dan menyebarkan tusukan-tusukan tajam ke setiap syaraf Kyungsoo. Hal ini semakin menyakiti kepalanya ketika mengingat alasan ia berdiri di ruang ganti ini.
Karena Han Saerin dan poster sialannya.
“Ingat, ini tentang sportifitas, Do Kyungsoo! Jika kau tidak datang, akan kuanggap kau terlalu pengecut untuk berhadapan dengan seorang gadis!” teriak pelatih Jung sambil keluar dari ruang ganti tim sepak bola.
***
Han Saerin bersenandung sembari menyisir rambut lurusnya menggunakan jemari. Ia terlampau senang karena kemarin, pelatih Jung berhasil membungkan siswa menyebalkan itu. Seandainya saja ia bisa mengeluarkan ponselnya, merekam kejadian langka itu, dan mengunggahnya di Youtube, pasti kebahagiaannya akan bertambah puluhan kali lipat.
“Saerin-ah… pinjami aku lip gloss-mu,” ucap Kim Hana yang baru saja keluar dari bilik toilet.
“Hari ini aku tidak bawa. Pinjam saja ke hoobae di sebelahmu.”
Hana melakukan apa yang disarankan oleh sahabatnya. Berkat rumor yang telah menyebar tentang Saerin, hoobae itu menyerahkan lip gloss-nya lalu lari terbirit-birit. Hana sendiri tidak ambil pusing dan segera mengaplikasikan lip gloss itu ke bibirnya.
“Bagaimana kau bisa tahan terhadap rumor-rumor itu, Saerin-ah? Jika aku jadi dirimu, aku pasti akan mencari penyebar rumor itu dan mematahkan tulangnya.”
Saerin yang masih merapikan rambutnya, terkekeh. “Jika kau melakukannya, maka rumor itu segera menjadi fakta!”
“Rumor apa yang sedang kalian bicarakan?”
Saerin membelalakkan kedua bola matanya ketika melihat refleksi tetangganya di dalam cermin. Ia segera berbalik dan memasang dagunya tinggi-tinggi. Kemarin sore pemuda itu telah kalah dari pelatih Jung. Sekarang, gilirannya mengalahkan anak tunggal keluarga Do itu.
“Apa yang membawamu ke sini, Do Kyungsoo?”
Kyungsoo yang bersandar di depan bilik paling ujung, mengangkat kedua bahunya. “Aku bosan pergi ke toilet laki-laki. Jadi aku pergi ke sini. Waeyo? Mengapa ekspresimu seperti itu, Han Saerin? Bukankah kemarin kau menginginkan kesetaraan gender?”
Dengan dagu yang masih terangkat tinggi, Saerin terkekeh. Ia tidak akan kalah. “Geure! Silahkan masuk dan buat dirimu nyaman!”
“Yaa!” Hana berteriak sambil menyikut lengan Saerin. Ia lantas berbisik. “Aku belum selesai merapikan rambut, Saerin-ah. Cepat usir dia dari sini sebelum jam istirahat selesai. Kau tahu.. bagaimana pun juga ini toilet perempuan.”
Saerin yakin Kyungsoo mendengar bisikan Hana dengan jelas. Gadis itu dapat melihat perubahan raut muka Do Kyungsoo. Dari yang tadinya tidak berekspresi, kini ujung bibirnya sedikit terangkat. Saerin memutar bola matanya. Sebentar lagi ia pasti akan mendengar komentar dari siswa menyebalkan ini.
“Han Saerin. Kim Hana… Asal kalian tahu saja, ada banyak siswa yang ingin masuk ke toilet perempuan. Dan terima kasih kepada ide kesetaraan gender dari kalian berdua. Terima kasih karena telah mewujudkannya.” Kyungsoo tersenyum lebar, lalu mengetuk pintu bilik sebanyak dua kali. “Jika aku mengetuk sekali lagi, mereka akan berbondong-bondong masuk ke sini.”
“Andwae!” teriak Hana, cepat.
“Mwo?” Kyungsoo menggosok telinganya. Sambil menatap sinis Han Saerin, ia menegakkan punggung. “Andwaeyo? Apa baru saja Kim Hana menolak kesetaraan gender? Aigoo… Han Saerin, kau baru saja dikhianati temanmu sendiri.”
Saerin yang sudah tidak tahan, segera meledak. Gadis itu menggebrak pintu bilik toilet yang ada di dekat Kyungsoo, sehingga Kim Junmyeon yang salah paham, menyeruak masuk ke dalam toilet. Sendirian. Melihat hanya ada satu laki-laki yang masuk ke dalam toilet, dagu Saerin semakin terangkat. Sedangkan Kyungsoo menepuk keningnya, pelan.
“Oh… jadi begini toilet perempuan itu.” Kim Junmyeon berjalan ke arah cermin, menggeser Hana dari tempatnya berdiri, dan mulai berkaca. “Kurasa cermin di sini lebih besar.”
“Yaa! Do Kyungsoo! Sebenarnya apa yang kau inginkan?!” teriak Saerin, tak sabar. “Dan hentikan tingkah konyolmu, Junmyeon-sunbaenim!”
Kyungsoo berdiri tegak, tepat satu jengkal dari Saerin. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu menghembuskan nafas kuat-kuat. “Pertama, bakar poster sialan itu.”
“Jika aku tidak melakukannya?” tanya Saerin, balik menantang.
Bertahan dengan tatapan datarnya, Kyungsoo mendekatkan wajahnya ke wajah bulat Saerin. “Satu minggu yang lalu, kau datang ke kelasku. Jangan kau kira aku tidak tahu apa yang Park Byunhee berikan kepadamu. Ah… aku ingin tahu wajah Go-seonsaengnim jika mengetahuinya.”
Han Saerin membelalakkan mata. Sambil menelan ludah, ia menyadari kebodohannya. Seharusnya ia tahu, kesalahan tidak akan pernah luput dari pandangan Do Kyungsoo. Dan dengan segala ketololan yang ia punya, ia meminta Byunhee menyerahkan salinan soal ujian matematika tepat di depan mata Kyungsoo.
Babo!
Kyungsoo menarik kembali wajahnya, lalu tersenyum puas. “Kurasa kau sudah menyadarinya. Jadi, bakar semua hal yang berhubungan dengan poster itu. Mengerti?”
Saerin lebih memilih untuk mengalah pada Do Kyungsoo dibandingkan dengan melawan maut bersama Go-seonsaengnim. Benar. Ia akan dihabisi oleh Go-seonsaengnim jika ulahnya ini ketahuan. Sehingga, dengan berat hati, gadis itu menganggukkan kepala. Patuh.
“Bagus,” respon Kyungsoo, singkat. Pemuda itu hendak mengajak Kim Junmyeon keluar, sebelum tersadar bahwa ada hal lain yang ingin ia sampaikan. Kyungsoo kembali menatap manik coklat milik gadis di hadapannya. “Han Saerin, menyerahlah saja.”
Kening Saerin berkerut. Ia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh Kyungsoo. “Menyerah untuk?”
“Pengajuan konyolmu itu.” Saerin akan membalas ucapan Kyungsoo, tetapi pemuda itu terlanjur mengatakan hal yang membuat harga dirinya semakin terinjak-injak. “Kau lawan yang terlalu mudah bagiku. Jadi dalam pertandingan tiga ronde, Sunbae yang akan melawanmu.”
“Mwo?!” teriak Saerin dan Junmyeon bersamaan.
“Jika kau tidak menyerah, aku akan menceritakan semuanya kepada Go-seonsaengnim. Hal ini juga berlaku untukmu, Sunbae. Aku yakin kau tahu apa yang kumaksud,” ujar Kyungsoo, kemudian pergi meninggalkan Saerin dan Junmyeon yang masih membeku.
“Yaa! Yaa! Do Kyungsoo!”
“Do Kyungsoo! Tunggu! Jangan pergi!”
Kim Junmyeon mendahului Saerin untuk mengejar Kyungsoo. Tetapi Saerin yang berlari tepat di belakangnya, mendadak berhenti. Kini, gadis itu menghabiskan sisa jam istirahatnya dengan menatap punggung senior serta tetangganya yang sudah berada di ujung lorong. Setelah keduanya menghilang dari pandangan, Saerin mendengus kuat.
“Saerin-ah… gwenchana?” tanya Hana yang sedari tadi berdiri di samping Saerin.
“Nan gwenchana.”
Hana memegang pundak sahabatnya itu untuk melihat dengan jelas ekspresi Saerin. “Ini perasaanku saja atau kau benar-benar merasa kecewa karena tidak jadi bertanding dengan Kyungsoo?”
Saerin menaikkan alis. “Mengapa kau berpikir seperti itu? Aku hanya tidak suka caranya menghinaku. Dia harus diberi pelajaran.”
“Bagaimana caranya? Kau sudah mendengar reputasi Kyungsoo sebagai orang yang keras kepala, bukan?”
Kepala Saerin mengangguk dengan pasti. Tetapi bukan Han Saerin namanya jika ia tidak memilki ide gila untuk menarik Kyungsoo kembali ke pertandingan mereka. Saerin sudah membuktikannya melalui poster-poster itu. Yang ia butuhkan hanyalah memancing amarah Kyungsoo.
Sekali lagi.
***
Kyungsoo pernah menyesal karena terlahir dengan bakat alamiah dalam menganalisis seseorang. Ia tidak bisa menahan diri jika ada sesuatu yang menarik dari diri orang lain. Terutama jika hal itu berhubungan dengan kata ‘kesalahan’. Kyungsoo bisa dengan cepat menyimpulkan kesalahan yang diperbuat orang lain.
Han Saerin, si pembuat onar yang peringkatnya berada di sepuluh besar terbawah sekolah. Lalu Kim Junmyeon yang selalu lemah dalam mata pelajaran yang menyangkut hitungan. Dua murid itu hanyalah contoh kecil perhatian Kyungsoo terhadap lingkungan sekitarnya. Dan hanya mereka yang bertahan di dekatnya dengan cara aneh. Selalu membuat Kyungsoo naik pitam.
Tetapi kali ini Kyungsoo sudah keterlaluan. Berkat ancaman yang ia lontarkan untuk Saerin dan Junmyeon, kini, ia telah resmi menjadi tokoh antagonis yang memanfaatkan kelemahan lawan untuk kepentingan pribadinya. Jujur, Kyungsoo merasa jijik terhadap dirinya yang seperti ini. Tetapi pemuda itu tidak memiliki opsi lain.
Ia tidak bisa bertanding. Tidak akan pernah bisa.
Setelah menghembuskan nafas kuat-kuat, Kyungsoo memasukkan buku-buku yang ada di atas mejanya ke dalam tas. Bel baru saja berbunyi dan mereka sudah memberi salam kepada Lee-seonsaengnim. Kyungsoo segera meninggalkan kelas. Ia ingin mengambil buku catatan matematikanya di loker depan kelas untuk mengerjakan tugas.
Suasana lorong agak ramai. Banyak murid yang meninggalkan kelas mereka untuk pulang, tetapi ada beberapa yang masih mengobrol di lorong. Ketika Kyungsoo berdiri di depan lokernya, ia sempat melihat Go-seonsaengnim yang baru saja keluar dari kelas sebelah.
Pemuda itu hendak memasukkan kunci loker saat ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan lokernya. Pintu lokernya sedikit terbuka dan ada bekas pemaksaan di dekat lubang kunci. Dengan agak ragu, Kyungsoo membuka lokernya.
Trang!
Sebuah kaleng soda yang jatuh, sedikit mengejutkan Kyungsoo. Tetapi karena rasa keingintahuannya, dengan cepat ia membuka pintu lokernya lebar-lebar. Dan di saat itulah Kyungsoo melihat kaleng-kaleng soda yang memenuhi lokernya jatuh bergantian, menimbulkan suara bising yang menarik perhatian semua orang.
Sial.
Kyungsoo hanya bisa mengumpat dalam hati. Teori kesopanannya telah melarang pengucapan itu. Tetapi ketika ia melihat tulisan familiar yang tertempel di dinding dalam lokernya, amarah Kyungsoo melonjak tajam.
Pengecut.
Satu kata dengan efek ribuan racun. Dan hanya Han Saerin yang bisa melakukan hal segila ini.
“Nappeun yeoja,” gumam Kyungsoo sambil mencengkram kuat pintu lokernya. “Aku tidak akan melepaskanmu kali ini.”
“Do Kyungsoo! Ke ruang guru, sekarang!”
Tanpa perlu melihat, Kyungsoo tahu siapa yang memerintahnya. Go-seonsaengnim. Sambil menyobek kertas dengan tulisan tangan Han Saerin, hati kecil Kyungsoo tertawa keras. Beberapa menit yang lalu ia telah mengakui kesalahannya dalam memanfaatkan kekurangan orang lain. Dan sekarang, ia telah mendapatkan jawaban dari Tuhan.
Karma benar-benar nyata.
***
CUT
***