CHAPTER 1 : Memories
Memories
Aku mengenal nama itu sejak kelas 11 SMA dari seorang teman. Aku tahu pemilik nama itu bukanlah namja biasa, dari awal jantungku berdegup penasaran padanya. Siapakah namja yang membuat pikiranku tak menentu. Namja yang menguraikan pendapatnya di depan kelasnya dan aku terkesan dengan argumentasinya. Ku rasa argumentasinya sesuai dengan prinsipku. Sulit bagiku menemukan orang yang satu pikiran denganku. Temanku, Lee Ah Reum menceritakan secara detail soal teman sekelasnya. Dan lagi- lagi aku ingin tahu siapa dirinya.
Dan setahun kemudian, aku satu kelas dengan Ah Reum. Gadis yang perlahan mendekat menjadi sahabatku. Aku tak pernah menganggapnya sebagai sahabat jika ia tak mengatakan aku adalah sahabat terbaiknya. Ku pikir selamanya aku akan memberi gelar Ah Reum hanyalah teman biasa. Aku, tak pernah percaya pada orang lain jika ia tak percaya padaku dulu.
Dan aku bertemu dengan seseorang yang membuatku kagum. Anh Jae Hyun, namja cerdas yang selama ini ku cari.
Awalnya, aku hanya tertarik dengan kepribadiannya setelah Ah Reum membicarakan tentang namja itu. Saat ku lihat siapa dirinya, aku tak pernah percaya jantungku berdegup lebih keras, lebih daripada namja yang pernah ku sukai sebelum ini. Aku diam menatapnya yang sedang membaca buku. Dilihat dari gesture tubuhnya, namja beralis tebal itu pintar berargumentasi. Sosok pendiam yang anehnya cool sekaligus rendah hati. Penampilannya selalu rapi, amat berbeda dengan teman sekelasku lainnya yang tak pernah terurus. Hidupnya pasti baik- baik saja dilihat dari seragam pakaian yang mulus. Ibunya pastilah ibu terbaik untuknya.
Mataku berkedip sekilas dibalik kacamataku, tertarik dengan buku filsafat yang dipegangnya. Bibirku tertarik ke atas, bingo! Tak banyak namja yang senang membaca bacaan sulit seperti ini. Aristoteles, Rene Descartes, Karl Mark ataupun Immanuel Kant, namja itu pasti sudah mengenalnya.
“Apa yang kau lihat?” Tanya Jae Hyun sambil menatapku. Aku menguasai diri setelah sibuk menganalisis setiap inchi anggota tubuhnya.
“Eo?” Ucapku tak yakin, aku membuang nafas untuk meredam jantungku yang berdebar hebat saat untuk pertama kalinya ia mengajakku bicara. “Buku apa yang kau baca?” Tanyaku asal.
“Hm.. buku filsafat. Kau mau meminjamnya?”
“Tidak, aku sudah membaca buku itu.” Jawabku dan bahuku terangkat begitu ringan. “Tapi aku tak sanggup sampai halaman terakhir. Buku itu terlalu rumit untuk ku cerna.”
“Filsafat harus dipelajari. Kau harus memahami soal filosofi hidup dengan mengulang bacaannya. Apa yang harus kau lakukan, untuk apa kau hidup dan seperti apa dirimu, semua pertanyaan soal jati dirimu akan memberikan presepsi yang tak terduga.” Tuturnya dengan santai. Aku terkekeh pelan dan setuju pada setiap perkataannya. Fisiknya sempurna, penampilannya juga rapi. Dan aku lebih jatuh cinta padanya karena jalan pikirannya yang sama denganku !
Memories
“Hana, kau tak ingin ke perpustakaan?” Tanya Ah Reum memberikan pelukan dari belakang. Pelukan yang anehnya membuatku merinding. Aku sangat membenci skinship, pegangan tangan saja bagiku sudah terlalu intim, apalagi lebih dari itu. Ku jauhkan badanku darinya, dan menatap datar Ah Reum.
“Saat kelas kosong seperti ini? Bukannya Han Seongsangnim melarang kita keluar kelas….” Aku mengeryit tak suka. Hal yang ku benci adalah ada anak yang melanggar peraturan sekolah.
“Percayalah, tak akan ada yang marah kalau kita pergi ke perpustakaan.”
“Tapi bagaimana dengan tugas kita sekarang?”
“Aishhh.. kau kan pintar. Menyelesaikan soal dalam lima menit itu tak masalah bagimu kan? Ayolah.. Aku benci suasana kelas yang ramai ini. Aku ingin tidur.”
“Pergilah ke ruang kesehatan.”
“Tak bisa,, ada pasien disana.”
“Baiklah, nanti kalau kita ketahuan keluar kelas aku tak akan memberi contekan apapun padamu.” Ancamku berusaha untuk mengurungkan niat Ah Reum.
“Percayalah. Tak akan ada yang marah kalau siswanya pergi ke perpustakaan.” Ah Reum membujukku dan perlahan aku luluh. Toh aku juga ingin pergi ke perpustakaan untuk meminjam beberapa bacaan.
“Oi…. Mau kemana kalian?” Tanya Jae Hyun saat melihat kami berdua berdiri dari bangku. Dan aku tersentak mendengar suaranya. Ah Reum menjawab pertanyaan Jae Hyun dan namja itu tiba- tiba berdiri dari bangkunya.
“Aku ikut ya..”
Tanpa berkata apa- apa, kami bertiga pun berjalan menuju perpustakaan. Untung lokasi kelas ada di lantai dua. Sedangkan kantor guru ada di lantai satu. Jantungku berdegup keras, ini untuk pertama kalinya aku keluar kelas saat bel istirahat belum berdering. Rasanya aku seperti menjadi pencuri karena berjalan mengendap- endap. Apa kata Han Seongsangnim kalau melihat siswi kesayangannya keluar kelas?
Ku hela nafasku dan berdoa agar tak satupun ada yang melihat kami bertiga berada di luar kelas. Ah Reum maupun Jae Hyun berbincang dengan santai. Dua orang ini benar- benar sudah terbiasa keluar kelas saat jam kosong rupanya.
“Sampai…” Ucap Ah Reum menyunggingkan senyuman lebarnya saat di depan pintu perpustakaan. Senyuman itu berumur dua detik, karena di dalam ruang penuh rak buku terdapat puluhan anak kelas 10 yang gaduh dengan buku masing- masing, sibuk dengan tugas algoritma yang sulit dipecahkan.
“Nampaknya kelas kita lebih tenang daripada perpustakaan Ah Reum-ah.” Ucapku dan berpuas diri.
Bagaimana kalau kita pergi ke kantin?” Usul Jae Hyun, “lagipula sepuluh menit lagi bel istirahat.”
“Ide bagus.” Ah Reum mengangguk setuju dan mengamit lenganku. “Kajja…”
Memories
“Hana-ya, sepertinya Jae Hyun menyukaimu.” Ucap Ah Reum sambil lalu, gadis itu membolak- balikkan majalah berisi jurnal ilmiah.
Aku tertawa keras tak setuju pada perkataannya. “Jangan bicara omong kosong.”
“Jae Hyun menyukaimu.”
“Aniya… Gotjimal.” Tolakku. Oh tidak,,, kata- kata yang baru saja terucap dari bibir Ah Reum jangan sampai melambungkan perasaanku. Ini tak benar, jangan sampai membuatku sangat bahagia dan merasakan ia benar- benar menyukaiku. Aku benci kenyataan yang tak sejalan dengan bayanganku. Aku lelah dipermainkan perasaanku sendiri. Aku takut akhirnya Jae Hyun tak menyukaiku. Cukup untuk yang lalu ketika aku menyukai seseorang, ku pikir ia menyukaiku. Aku hanya tak ingin terlalu GR.
“Aku tak bohong. Aku mengenal Jae Hyun cukup lama, dan aku tahu perlakuan Jae Hyun padamu berbeda dibandingkan dengan teman yang lain. Setiap ia bicara denganmu, aku melihatnya. Kau tahu tatapannya? Oh My God! Aku sangat iri cara ia menatapmu!” Pekik Ah Reum menarik seragamku. Ia menepuk pipinya tak percaya pada penglihatannya sendiri.
“Ya… tutup mulutmu. Jangan mengatakan hal tak jelas.” Tegasku dan memasukkan segenggam roti pada mulutnya. Dalam hati aku berusaha keras menguasai diri. Aku hanya ingin terlihat tak ada ekspresi kalau aku senang. Tak seorangpun boleh tahu kalau aku menyukai Jae Hyun!
“Jae Hyun jatuh cinta padamu, seharusnya kau bersyukur. Bagaimana kalau Jae Hyun mengajakmu kencan Hana-ya?”
“Ya….” Geramku dan terusik pada pertanyaan itu.
“Oh My God Hana-ya…” Seru Ah Reum nyaris tercekik dalam bisikan keras di telingaku.
“Dia menatapmu! Lihatlah… Dia curi- curi pandang padamu!” Tunjuk Ah Reum heboh. Aku yang sibuk menggambar bunga terusik pada Ah Reum.
“Dia pasti sedang melihatmu! Dan aku yakin Jae Hyun menyukaimu!” Kataku dengan ketus, terus mengukir bunga. Konsentrasiku mendadak buyar. Akhirnya ku putar kepalaku. Dan terdengar ledakan tawa keras Ah Reum maupun kawan- kawan Jae Hyun di belakang.
Sialan, mereka menipuku!
Nampaknya gossip baru tersebar. Aku dan Jae Hyun berkencan!
“Ah sepertinya akan ada pasangan di kelas kita. Dan tak kalah kerennya mereka memang pintar. Pasangan jenius yang akan melahirkan anak jenius. Hana-ya, mana suamimu? Kau tak makan siang dengannya?” teman- teman dari kelas lain termakan gossip. Menyebalkan sekali. Dimana- mana tatapan mereka adalah tatapan menggoda padaku. Sepertinya popularitasku melambung bukan karena prestasi tapi karena gossip murahan.
Aku benci sekali dengan cara menatap teman- temanku.
“Katanya kau tak suka kencan sebelum kuliahmu tiba. Tapi kau sudah tak tahan. Semoga beruntung Hana-ya.”
“Syukurlah kau sudah menemukan pangeranmu. Jadi kau tak butuh kuliah untuk mencari teman kencan.”
“Apa yang kau sukai dari Jae Hyun eo?”
SINTING… Dan aku sangat malu. Aku takut aku salah tingkah. Karena aku menyukai Jae Hyun dan aku takut semua orang tahu perasaanku. Dengan dinginnya, aku mengabaikan sapaan mereka.
“Annyeong.” Sapa Jae Hyun ramah saat aku berpapasan di tangga. Ia baru saja dari lapangan sedangkan aku ingin pergi ke halaman belakang sekolah.
“Siapa yang menyebarkan gosip itu Jae Hyun-ah?”
“Gosip apa?” Tanya Jae Hyun dengan tenang dan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.
“Kau tak tahu?”
“Memangnya ada masalah apa?”
“Bukan apa- apa. Aku pergi dulu.” Kataku dengan terburu- buru menuruni tangga.
“Oi…” Jae Hyun menyusulku. “Apa terjadi sesuatu Hana-ya. Katakan sesuatu.”
“Nampaknya teman- teman percaya gossip kita pacaran. Padahal juga tidak. Aku sangat malu mereka bersikap seperti itu.”
“Kau menyukaiku Hana-ya?” Tanya Jae Hyun sukses membuatku terkejut.
“Eh?”
“Kalau kau tak menyukaiku, kau tak akan memiliki masalah apapun kalau teman- teman kita termakan gossip itu. kau akan baik- baik saja jika teman- teman menggodamu. Jadi benar kau menyukaiku?”
“Apa yang kau bicarakan? Tak penting sama sekali.”
“Semakin dingin sikapmu, semakin banyak yang tahu kau menyukai seseorang.”
Langkahku terhenti, dengan satu tembakan yang keras Jae Hyun mengungkapkannya tepat sasaran.
“Aku tak mengerti.”
“Aku tahu kau menyukaiku Hana-ya.”
Tubuhku menggigil hebat karena malu. Aku ingin menghilang daripada bertemu dengan Jae Hyun. Aku benci siapa yang menyebarkan rumor Jae Hyun dan aku sedang berkencan. Aku benci akhirnya ia tahu perasaanku. Caraku mencintai seseorang adalah sukai dia dengan diam- diam. Karena dari jauh pun kau bahagia melihat senyumannya.
“Anggaplah tak ada apa- apa. Berpura- puralah aku tak menyukaimu. Kalau kau tak menyukaiku, anggaplah aku tak pernah ada.” Ucapku dingin. “Aku tak ingin mencintai ataupun dicintai. Aku benci hubungan.”
Ku hela nafasku dan aku berlari meninggalkannya.
Memories
Pada akhirnya, Jae Hyun tak pernah bisa ku miliki. Sehari setelah pengakuan bodoh seperti itu ia tak menegurku. Sakit rasanya, diabaikan seperti itu. Setahun bagiku mencintai dengan diam. Ku amati dari jauh, dan melihat matanya saja cukup memberikan energy untukku. Setelah kelulusan SMA, baru ku sadari ia tak menegurku karena satu hal. Aku tak bertanya bagaimana perasaannya. Ia menyukaiku, namun sakit hati dengan kata- kataku yang benci soal ikatan antara wanita dan laki- laki.
Satu tahun yang amat berharga di akhir SMA-ku. Dan sampai sekarang setelah aku berada di semester akhir kuliahku, perasaan ini masih sama. Jantungku masih berdetak keras setiap mendengar namanya. Aku masih merindukannya. Setiap kenangan yang ku miliki dengannya membuatku tersenyum sekaligus menangis.
Masa ketika aku kehilanganmu, kau berada di dunia lain yang tak bisa ku sentuh. Kau berada di tempat yang amat jauh dan aku tak bisa berada disana. Masa itu hatiku terluka, sakitnya luar biasa sampai depresi karena perasaan yang tak terucap sebenarnya. Ibaratnya, tangan yang tersayat pisau dan tanganku berdarah. Hatiku memiliki bekas yang dalam setiap mengingat namamu. Seiring berjalannya waktu, namamu tak lain hanyalah cubitan ringan di tanganku. Hatiku berdegup keras namun berdetak normal lagi. Ku tatap selembar kertas dengan desain yang amat cantik bertuliskan nama Jae Hyun.
Memori indah ketika tanpa sadar air mataku jatuh dan bibirku bergerak.
“Semoga hidupmu baik- baik saja dengan gadis yang ada disisimu sekarang. Selamat menempuh hidup baru Jae Hyun-ah.”
Memories