CHAPTER 1 : This Is Not A Cinderella Story
Sena kira delapan tahun sudah cukup lama untuk mengenal seseorang dan mengetahui bagaimana pikirannya bekerja. Nyatanya, Chanyeol selalu bisa membuktikan bahwa perkiraannya tidak terlalu tepat. Dari saat dimana ia muncul di lobi kantor Sena di ujung siang, dengan kemeja digulung siku dan dasi yang entah hilang kemana, ditambah seiris senyuman yang mengingatkannya pada anak kecil dengan gigi gripis yang tetap nekat memakan permen meski dilarang. Meski Sena telah berhasil memprediksi bahwa laki-laki di hadapannya ini akan kembali mengejutkannya, Ia masih tidak habis pikir mengapa rasa terkejutnya tidak berkurang sedikitpun ketika ia mengetahui penculikan dadakan itu berakhir di salah satu premium shopping mall di Seoul.
“Kau yakin benar-benar mengajakku ke sini?” Sena bertanya.
“Hm,” kata Chanyeol yang sibuk memarkir mobilnya. Setelah memastikan skill memarkirnya masih tanpa cela, ia segera melepas sabuk pengaman.
“Tidakkah terlalu jahat bagimu untuk mengajakku ke tempat seperti ini di akhir bulan? Tidak semua orang bisa libur seenaknya dan punya uang setiap saat sepertimu, kau tahu,” Sena mengomel. Namun ia tetap mengikuti Chanyeol masuk ke dalam mall itu. Selamunan kemudian, Sena terkejut menyadari perhatian Chanyeol sudah terpusat ke deretan metal penghias jari bertabur kilauan batu.
“Sena-ya, kumohon sekali ini saja bantu aku.”
Seketika Sena tersadar. Ia menghampiri sahabatnya dan menatapnya lekat-lekat. “Kau tidak membeli cincin untuk melamarku kan?”
Chanyeol menoleh. Keningnya berkerut lalu serta merta penolakan keluar dari mulutnya. Sementara dalam hati, Sena mengais harga dirinya yang berceceran sambil bingung menentukan ekspresi yang harus muncul.
“Ini untuk Minyoung, Sena-ya.”
“Kau mau ngelamarnya? Tidakkah itu semua terlalu cepat? Apa keluargamu setuju?”
“Ya. Tidak tahu. Tidak tahu.”
“Park Chanyeol, apa kau benar-benar sadar dengan apa yang sedang kau lakukan sekarang?" Sena menatapnya lekat. Pandangannya merupakan campuran antara kekagetan dan keheranan.
“Sadar. Entahlah, tiba-tiba saja aku merasa ingin melakukannya.”
“Apa kau benar-benar yakin? Kau bahkan belum mengenalkannya padaku. ”
Chanyeol menoleh dan memandang Sena. “Jung Sena, bisakah kau jelaskan dengan standar apa aku harus mengukur keyakinanku?” Sena terdiam. "Dengan meminta pendapatmu soal ini, tidakkah itu cukup?"
“Tapi menurutku kau tetap harus memikirkannya sekali lagi, Park Chanyeol. Kenapa begitu terburu-buru?
"Baiklah, aku akan memikirkannya lagi. Tapi kau tetap harus membantuku memilihnya sekarang."
Sena mendelik. "Bukankah itu sedikit sia-sia? Dan maaf, aku tidak punya referensi yang cukup untuk memilih sesuatu yang sesuai dengan selera pacarmu." Sena melanjutkan, kemudian membuang muka. Tanpa sadar matanya tertumbuk pada satu cincin tak jauh dari sudut.
Chanyeol menghela napas lalu menunduk. Ia membungkuk ke arah Sena dan berbisik pelan. "Pemilik toko ini lebih mengenalku sebagai seorang dari Park daripada seorang Chanyeol, Sena-ya. Meninggalkan toko ini sekarang hanya akan menimbulkan kesan tidak sopan. Kau tahu maksudku bukan?"
Sena mengambil jarak, membuang muka, dan menghela napas. Kalau kau sudah tahu konsekuensinya kenapa masih melakukannya, idiot, Sena membatin. Ia tahu benar Chanyeol melakukannya dengan sengaja. "Lakukan sesukamu," Sena menyahut dingin.
Sementara objek pikirannya justru tersenyum simpul. Merasa mendapat lampu hijau, ia menunjuk sebuah cincin tak jauh dari sudut kepada pelayan. Ketika Sena kembali dari lamunannya, Chanyeol sudah menyodorkan cincin yang sempat menarik minatnya tadi. “Kuharap kau masih mau membantuku.”
“Kenapa harus aku?”
“Menurutmu aku harus menyuruh nona pelayan di depan yang mencobanya?” Chanyeol menimpali. Sena melipat kedua tangannya dan membuang muka. "Bukankah barusan kau setuju mengikuti keinginanku?"
“Aku tidak tahu kalau kau tidak bisa mengerti sarkasme.”
Seketika itu juga ia merasa pipinya terbakar. Ia menengok, mendapati Chanyeol menatapnya dengan ekspresi yang tidak ia pahami, lalu Sena kembali membuang muka dan menghela napas. Chanyeol mengambil tangannya dan memasukkan cincin itu ke jari manis sahabatnya, menemani satu cincin yang sudah lebih dulu ada di sana. Setelah peringatan “Jangan lama-lama” dari Sena, Chanyeol buru-buru melepas cincin itu lalu mengkonsultasikan beberapa keterangan tambahan dengan pelayan dan pemilik toko.
Sena masih bersikap acuh ketika akhirnya mereka berjalan menjauh dari toko itu. Dia bahkan tidak menjawab ketika Chanyeol menanyainya lapar atau tidak. Ia tidak bersenang hati saat Chanyeol berkata akan menraktir makan malam favoritnya malam itu, namun ia tidak memberontak tangannya ditarik masuk ke restoran. Ia tidak menyentuh makanan yang Chanyeol pesankan. Ia mengabaikan Chanyeol. Bahkan hingga Chanyeol mengantarnya pulang ke depan apartemennya, ia tidak berkata apapun dan langsung membuka pintu mobil.
Chanyeol mengikutinya cepat-cepat dan menarik tangan Sena, membukanya, menaruh bungkusan makanan favorit Sena dan menutupnya lagi.
“Aku berjanji akan memikirkannya lagi. Kau boleh marah padaku hari ini, tapi kuharap besok kau sudah kembali baik lagi, oke?" Chanyeol berkata seenaknya. Lalu ia berbalik dan berjalan cepat ke mobil sebelum Sena bisa menjawab pernyataan sepihaknya. Setelah mobilnya menghilang, Sena merasa marah. Entah pada Chanyeol atau pada dirinya sendiri.
***
Chanyeol dan Sena mengenal satu sama lain di bangku kuliah. Chanyeol mengambil jurusan manajemen sedangkan Sena mendalami ilmu komunikasi. Berbicara soal masa itu, kita tidak bisa melewatkan topik pertemuan pertama kedua manusia ini yang terjadi di perpustakaan kampus. Keduanya kebetulan berada di tempat yang sama dengan tujuan yang sama, meskipun tujuan itu sama sekali melenceng dari tujuan orang lain datang ke tempat penuh buku itu.
Sena yang datang setengah hati karena dipaksa membantu mencari bahan riset kakak tingkatnya memutuskan mencari pelarian ke alam mimpi. Sedangkan Chanyeol yang datang sebagai buronan sementara dari kepanitiaan acara jurusannya memang berniat mencicil melunasi hutang tidurnya yang bertambah sejak nekat mengikuti kepanitiaan laknat itu demi sebuah sertifikat. Kemudian, Sena yang sengaja ditinggal kakak tingkatnya karena tidak memberikan kontribusi dan Chanyeol yang keberadaannya tidak diketahui rekan kepanitiaannya berakhir terusir oleh penjaga perpustakaan yang ingin segera pulang.
Sama-sama masih setengah sadar, mereka memutuskan menertawakan kesamaan mereka sambil berjalan beriringan keluar area kampus. Pertemuan pertama mereka kemudian diakhiri setelah menandaskan berporsi-porsi makanan di kafe terdekat setelah lagi-lagi mereka menemukan kesamaan di antara mereka; sama-sama kelaparan.
Mengikuti pepatah sedikit-sedikit menjadi bukit, pertemuan yang dibangun dengan ketidaksengajaan itu berkembang hingga terbentuk satu persahabatan.
***
Apa itu sahabat?
Ia yang dulu mungkin akan kehabisan kata untuk menguraikannya. Menjelaskan arti sahabat bisa saja dimulai dari asal muasal bahasa hingga berujung pada satu-persatu kenangan yang terpanggil kembali ke bagian depan otaknya, secara tidak sadar membuat rasa hangat menjalar di hatinya. Jika ia dipaksa hanya menggunakan satu kata, ia akan tanpa ragu menjawab, “Chanyeol.”
Namun belakangan, kata itu seolah mulai berubah makna. Sahabat sedikit semi sedikit mulai terasa seperti janji, yang awalnya melekat namun makin lama makin sulit ditepati.
***
“Apa ini?” Sena menoleh merasakan sepasang lengan berbulu yang menclok di bahunya.
“Kadomu. Favoritmu kan?” respon sebuah suara berat dari belakangnya. Boneka berbulu cokelat itu berpindah ke pangkuan Sena. Sementara si pemilik suara mengambil tempat di sebelahnya, mengikutinya memasukkan kedua kakinya ke dalam kolam renang yang sejuk. Mereka tengah duduk di pekarangan belakang rumah Chanyeol, mengikuti tradisi yang dibangun sejak masa kuliah untuk saling mengundang makan malam bersama keluarga setiap kali salah satu di antara mereka berulang tahun. Hari ini menjadi pertama kalinya Sena melewatkan ulang tahunnya tanpa bisa mengundang Chanyeol makan malam seperti dulu, oleh karena itu, Chanyeol memutuskan untuk mengundang Sena ke rumahnya.
“Terima kasih banyak. Boleh kutahu kenapa boneka?” Sena tersenyum tipis.
“Aku hanya tidak punya ide lain. Kejutan manis pemicu diabetes itu sudah menjadi jatah Baekhyun sejak lama. Jadi boneka saja.” Jawabannya ditemani cengiran jahil yang mengundang gestur yang sama dari Sena.
“Wow, aku tersanjung. Sepertinya sejak meminta saranku membeli cincin saat itu kelakuanmu jadi semakin manis. Kupikir kau selalu menganggapku sebagai laki-laki.”
Chanyeol tertawa. “Benar juga.”
“Yaaaahhhh.”
“Kau sendiri kan yang bilang?”
“Heol~” Sena menyenggol bahu sahabatnya. Chanyeol tertawa. Lalu wajahnya berubah serius. “Kau bisa mengembalikannya kalau kau tidak mau, Sena-ya.”
“Tidak akan.”
Chanyeol berdecak. “Lihat, ujung-ujungnya kau terima juga.”
“Akan terlalu rugi jika kukembalikan.”
“Matre.”
“Daripada sia-sia.” Sena menjulurkan lidahnya.
Chanyeol kembali berdecak heran. “Sebenarnya apa kau suka kadonya?”
“Suka. Kau? tidak.” Sena tertawa puas.
“Lucu,” Chanyeol menjawab tanpa tawa. “Padahal kupikir boneka itu bisa menggantikanku ketika aku tidak bisa lagi menemanimu.”
“Hah?”
“Kau dengar kan? Seandainya kau ingin menangis, dan aku tidak ada di sampingmu, kuharap boneka itu bisa menggantikanku,” jelas Chanyeol. Pandangannya beralih pada sesuatu nun jauh di sana.
“Kalau kau berkata begitu, kurasa boneka ini akan lebih sering kutonjok daripada kupeluk.” Sena tertawa. Tawanya mengundang lirikan tajam berbonus umpatan dari Chanyeol. Dengan menahan tawa, ia melanjutkan, “Lagipula tadi kau bilang tidak punya ide? Asal kau tahu saja, ini lebih parah daripada Baekhyun.”
“Oke, baiklah, lupakan," Chanyeol menimpali. Datar.
“Kau marah?" Sena tertegun. "Chanyeol-ah, katakan padaku sebenanya. Ada apa denganmu? Kau tidak tiba-tiba didiagnosa menderita kanker dan hanya punya waktu hidup satu bulan, kan?"
Matanya membulat, lidahnya berdecak. “Yaaaaaaahhhhh!”
“Lalu apa yang kau maksud dengan semua ini, Park Chanyeol.”
Chanyeol menghela napas sebelum menjawab. “Kita tidak bisa terus bersama-sama, Sena-ya." Perkataan Chanyeol mengundang tanya di benak sahabatnya. Sena memandang sahabatnya lekat. “Kata siapa? Apa yang salah? Apa ayahmu memutuskan untuk memindahkanmu ke kantor cabang yang lain?"
“Bukan begitu, aku hanya tidak bisa terus begini." Kening Sena berkerut. Chanyeol melanjutkan, “Kalau aku bertahan, aku takut aku tidak cukup kuat dan hancur.”
Sena mendengus. Matanya memincing ketika kalimat demi kalimat meluncur keluar. “Jadi kau memilih berbalik badan dan pergi duluan? Supaya kau tidak perlu melihatku berjalan jauh?”
Chanyeol tersenyum tipis, tapi Sena tahu senyum itu tidak mencapai matanya.
Sena membenamkan kepalanya ke kepala beruang coklat di dekapannya. Ia menggumam pelan. “Tapi gimana kalo dengan berbalik badan dan pergi duluan, kau tidak akan pernah tahu apa aku benar-benar pergi atau tetap di situ?"
Chanyeol menaikkan sebelah alisnya. “Sena-ya, apa arti Baekhyun bagimu?"
Sena memiringkan kepalanya dan menatap sahabatnya. “Baekhyun? Dia pernah menjadi seseorang yang sangat berharga untukku, Chanyeol-ah."”
“So?”
“Pada akhirnya semua orang berubah dan aku tidak lagi merasakan hal yang sama." Sena menghela napas. Chenyeol melirik Sena yang tengah tenggelam dalam lamunan. Pandangannya kemudian tertumbuk pada jari kiri Sena yang memeluk sebelah kanan boneka. Seketika itu pula ia mendapati absennya cincin yang pernah menemani jari manis Sena selama dua tahun.
“Aku mengembalikan cincinnya. Kurasa itu bukan lagi hakku. Kuharap aku bisa mengembalikan hatinya secara utuh juga," Sena terdiam sejenak. "Tapi siapa yang aku bodohi?” Sena menjelaskan. Matanya lebih tertarik memandangi kelip lampu kota dari pekarangan rumah Chanyeol.
“Bagaimana dengannya?"
“Ia bilang, ia tahu bahkan sebelum aku menyadarinya sendiri. Perubahan itu. Ia membiarkannya dengan berharap suatu saat itu akan berhenti. Dan ketika itu tidak terjadi, aku sadar seberapa besar sakit yang sudah kuberikan padanya. Aku sangat kejam bukan? Sena terdiam sesaat lalu melanjutkan dengan pandangan menerawang. “Ia bilang kami sama-sama sudah berlaku kejam, dan semua itu hanya akan bertambah jika kami memaksakan diri untuk bertahan. Jadi kami memutuskan untuk saling melepaskan."
Chanyeol menaikkan alisnya. “Semudah itu?”
“Kalau dipikir-pikir, semuanya memang terlihat berakhir dengan mudah. Hanya saja aku masih penasaran kenapa ia bisa sekuat itu bertahan selama ini."
“Mungkin aku tahu kenapa.” Kata-kata Chanyeol mengundang gumaman bernada tanya dari Sena. Chanyeol tertawa kecil. “Aku tidak perlu mengatakannya padamu. Ini mungkin sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh laki-laki."
Sena mengumpat.
“Kau sendiri bagaimana?”
“Aku? Entahlah. Saat ini aku cuma ingin mengikuti arus."
“Ehm, bisakah kau perjelas? Kita butuh berbicara pada bahasa yang sama di sini.” Kata-katanya dihadiahi lirikan tajam dari Sena. Chanyeol menjelaskan,“Tidak semua orang paham, kau tahu?"
“Dan kau menyebut dirimu jenius?"
“Perlukah kutunjukkan skor tes IQ-ku saat masuk universitas?"
Lidah Sena kembali berdecak. Ia geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya. “Sebegitu bangganya pada skor jaman antah berantah itu? Kenapa kau kedengaran sangat putus asa?"
“Karena aku memang putus asa menunggumu-” Kata-kata itu meluncur dengan cepat, namun Chanyeol buru-buru menambahi, ”-menjawab pertanyaanku.”
“Aku juga. Menunggu pengecut tidak peka yang hobi kabur lebih dulu," katanya dalam gumaman yang teredam bulu boneka besar yang dipeluknya.
“Yah, bukannya aku tidak peka ya, Jung Sena-"
“Aku tidak bilang itu kau!” Sena membuang muka.
Chanyeol melanjutkan. “Tapi bahkan setelah percakapan antah berantah kita malam ini, ketika hubungan yang kau bangun dengan Baekhyun, seseorang yang kau kenal sejak kau sekolah dasar, tidak bisa bertahan. Bagaimana mungkin aku berani, Jung Sena?"
Bahu Sena terasa lemas. Ia diam saja.
“Tapi bahkan walaupun aku paham, aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menceburkan diri dan menikmati rasanya terombang-ambing bersamamu. Kurasa aku juga tidak akan pergi kemana-mana."
“Bohong. Bukankah kau sendiri yang berkata kau sudah berbalik dan pergi?"
“Untuk yang satu itu, aku hanya bisa minta maaf. Aku tidak akan pernah bisa pergi, Jung Sena. Selama ini aku hanya membuatmu percaya begitu.”
Sena berbalik. Matanya menatap mata Chanyeol dalam-dalam. Otaknya berusaha menerka mana yang nyata. “Jadi Minyoung, cincin, lamaran, dan sebagainya hanya bohong?"
“Soal melamar, ya. Cincinnya masih ada padaku. Soal Minyoung, aku tidak tahu. Selama ini hubungan kami tidak lebih dari hubungan simbiosis mutualisme antara seseorang yang butuh partner untuk acara bisnis dan seseorang yang berusaha memperluas koneksi. Aku sendiri terkadang heran bagaimana kami bisa bertahan sangat lama."
Kening Sena berkerut. Atmosfer yang sebelumnya berat dan menyesakkan berubah menjadi riang dan ringan lagi. “Kupikir aku tahu kenapa.”
“Kenapa?”
“Rahasia. Aku tidak rela kepalamu meledak kegeeran.”
“Oh,” Chanyeol merespon. Sesaat kemudian cengiran itu muncul di wajahnya. “Aku tahu aku terlalu menguntungkan untuk ditolak."
“Heol~ dan muncullah si narsis Park Chanyeol."
Chanyeol tertawa. “Tidak perlu menyangkalnya, aku tahu kau sependapat denganku."
"Yah!" Sena membuang muka. "Jadi apa yang akan kau lakukan dengannya setelah ini?"
“Memutuskan segala hubungan dengannya? Aku sudah berhasil mendapatkan yang lebih baik di sini." ujar Chanyeol santai.
Entah sudah keberapa kali malam itu, Sena kembali menatapnya tajam. “Tega sekali.”
Chanyeol bersandar ke belakang. Membiarkan kedua lengannya menumpu tubuhnya. Ia berujar pelan. “Kita berdua tahu kan, aku bukan Prince Charming. Lagipula kau sendiri yang bilang karakterku lebih mirip Serigala di Red Riding Hood.”
Sena menimpali sambil menerawang. “Dan aku juga bukan Cinderella. Lagipula siapa yang bilang selera semua perempuan itu Prince Charming?”
Senyum kecil terselip di bibir Chanyeol. “Benarkah? Ujung-ujungnya pacarmu juga setampan Prince Charming.”
Sena memeluk bonekanya lebih erat. Otaknya berpikir keras mencari pengalihan. Sesaat kemudian, ia segera bangun.“Sudahlah, ayo masuk. Aku merasa bersalah tidak membantu ibumu.”
Tidak merasa perlu menunggui salah satu pemilik rumah yang masih terduduk di pinggir kolam, ia berjalan tanpa beban ke bagian kiri rumah. Dari jendela yang besar, ia melihat kesibukan sebuah keluarga yang sedang menyiapkan makan malam.
Yang ditinggalkan hanya bisa geleng-geleng kepala. “Heol~ Kadang aku sendiri bingung siapa sebenarnya pemilik rumah ini?” Ia bergumam sebelum ikut berdiri dan menyusul dengan langkah yang lebar. “Jung Sena, tunggu."
Sena menoleh. “Kenapa?”
Chanyeol merogoh jeansnya, menarik tangan Sena lalu menyelipnya sebuah benda mungil berbahan metal di tangannya. Ia menutup kembali tangan Sena dan mengacak rambutnya.
“Happy birthday, Jung Sena,"katanya sambil melengos.
Sena tertegun. Pandangannya terpusat pada benda di tangannya lalu berganti ke punggung yang makin menjauh. Perlahan seulas senyum terbit di bibirnya.
“Bisa-bisanya kau mengejek Baekhyun ketika kelakuanmu sudah seperti sakarin,” Sena bergumam.
***
p.s : Sakarin: Pemanis buatan yang 300-500 kali lebih manis dari gula.
p.s.s: Cerita sebenernya merupakan salah satu ide yang mau dimasukin ke ff saya yang Gravity. Tapi karena ngerasa stuck ngelanjutin, akhirnya ide yang ada saya buat jadi cerpen yang selanjutnya saya modif jadi fanfic ini (dengan beberapa perubahan karakter). Thank you for reading. Any feedback is highly appreciated. :D