CHAPTER 1 : It's Her
Ini berawal dari halusinasi.
Lee Hyukjae tahu dia tidak bisa memutar kembali waktu. Dia hanya bisa berharap dan berdoa.
Menyakiti perasaan seorang wanita adalah hal yang paling dia hindari, dia bersumpah tidak akan pernah melakukan hal tersebut kepada wanita mana pun. Dia tahu karena dia juga memiliki seorang ibu dan kakak perempuan, dia tidak ingin dua orang paling berharga dalam hidupnya itu tersakiti.
Ketika dua wanita itu pergi meninggalkannya dan tidak mungkin bisa kembali, hanya ada satu wanita yang mengisi hari-hari kosongnya. Wanita yang selalu dikaguminya, wanita yang membuatnya kembali bisa merasakan kasih sayang dan cinta. Dia merasa dicintai, dia merasakan cinta, dan dia berjanji akan menjaga wanita ini baik-baik.
Namun Hyukjae tidak punya pilihan lain kali ini.
Dia harus melepas Hyuri, meskipun secara terpaksa.
***
Hujan lebat tidak menghentikan Hyukjae dari kebiasaannya berdiri tanpa tujuan di sebuah tempat pemberhentian bus.
Tempat itu adalah tempat favoritnya bersama Ibu dan Sora, dua wanita terpenting dalam hidupnya. Sepeninggal Ibu dan Sora dalam sebuah kecelakaan bus, pria itu selalu datang ke sana setiap sore tepat pukul 3. Di sana banyak sekali kenangan yang tidak bisa dia lupakan, salah satunya adalah mengantar Sora ke kafe dan Ibu ke toko kue, tempat keduanya bekerja. Maka setiap harinya, di jam yang sama, dia akan pergi ke sana dan berdiri bersandar di tiang penyangga lampu kota selama dua jam. Merenung dan mengenang, lalu pulang dengan wajah berderai air mata.
Cengeng.
Memang, dia adalah pria yang cengeng.
Hanya saja hari ini berbeda, sedikit di luar harapan Hyukjae. Tidak pernah terbayang olehnya bahwa hari-hari seperti ini akan datang. Suara tawa mengejek seorang wanita mengalihkan perhatiannya, membuyarkan konsentrasinya. Bahkan membuatnya penasaran.
“Kau tahu, ada beberapa daun kering yang menyangkut pada rambutmu.” Wanita itu berujar sambil memperhatikan Hyukjae dari atas sampai bawah, masih terkekeh geli seraya menutupi mulutnya dengan telapak tangan.
Hyukjae mengerling dirinya sendiri sebelum akhirnya menatap nanar wanita aneh yang memandanginya dengan tampak geli itu. Wanita muda itu sama sekali kering, sementara dirinya basah kuyup oleh hujan. Tentu saja karena aku berdiri di bawah tiang lampu, sementara dia di bawah naungan pemberhentian bus. Pikir Hyukjae, sedikit kesal ditertawai seperti itu.
Mengernyit pada dirinya sendiri, Hyukjae heran. Ini adalah kali pertama dia merasakan perasaan lain, selain sedih, selama beberapa minggu sejak kematian Ibu dan kakak perempuannya. Perasaan kesal, ya, kalau dia tidak salah memastikan.
“Apakah kau baru saja menertawaiku?” Hyukjae menemukan dirinya bertanya pada wanita itu. Itu juga membuatnya heran. Hebat, ternyata aku masih mampu berbicara. Dia berkomentar sinis dalam hati.
Wanita itu mengangguk, kegelian masih menyentuh bibirnya.
“Apa yang kau lakukan di tengah hujan deras seperti ini? Kau bisa sakit.” Wanita itu menarik lengan Hyukjae supaya mereka sama-sama berdiri di bawah naungan. Itu membuat Hyukjae mengernyit lagi. “Sini, biar kubantu.”
“Apa yang kau—”
Sebelum Hyukjae sempat menyelesaikan perkataannya, wanita itu sudah berjinjit di hadapannya kemudian meraih dedaunan yang menempel di rambut pria itu.
“Tenanglah, aku hanya berniat mengambil ini.” Dia menunjukkan tiga helai daun kering di depan wajah Hyukjae. Pria itu hanya memandangi daun itu tanpa ekspresi. “Kau tidak akan berterima kasih padaku?” Tuntutnya penuh jenaka, sebuah senyum merekah dan tak pernah hilang dari bibir mungilnya.
“Aneh,” Hyukjae menyeletuk pelan. Segera setelah kata itu keluar, dia langsung menyesalinya. Dia takut kalau wanita ini akan marah.
Di luar dugaan, wanita itu malah tertawa. “Baiklah, kurasa itu adalah salah satu caramu untuk berterima kasih. Sama-sama, Tuan...”
Tanpa pikir panjang, dengan herannya Hyukjae memberitahu wanita itu. “Lee Hyukjae.”
“Kau itu lucu, kau tahu, Tuan Lee Hyukjae?” Dia terkekeh lagi. “Ah, busku sudah datang.”
Tepat saat itu, sebuah bus berhenti. Wanita itu segera berlari ke arah bus, tapi berhenti sebentar seraya berbalik menatap Hyukjae. Tersenyum, dia berkata. “Omong-omong namaku Kim Hyuri. Sampai jumpa lain kali, Hyukjae Oppa!”
Jantungnya berdegup tak terkendali, seperti genderang. Tiba-tiba saja bibirnya merekah membentuk sebuah senyum lebar, Hyukjae berharap dia bisa bertemu lagi dengan si Aneh Kim Hyuri.
Karena kalau tidak, dia bisa gila. Atau mungkin dia memang sudah gila?
***
“Kau memang selalu ada di sini atau sengaja menemuiku?” Tanya Hyuri blak-blakan, membuat Hyukjae menganga tanpa sadar. Pria itu hampir tidak percaya bahwa seorang wanita bisa terus terang seperti ini di hadapan seorang pria yang baru sekali bertemu.
“Dua-duanya.” Hyukjae merespon apa adanya.
“Baiklah,” Hyuri menghela nafas dalam-dalam, dia tersenyum lagi. “aku menyimpulkan bahwa kau menyukaiku.”
Hyukjae berdiri kaku dan tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya dia mengangguk. “Ya.”
Kali ini senyuman Hyuri lebih lebar. “Kurasa aku juga menyukaimu.” Itu adalah pernyataan yang sangat berani dari seorang wanita, tapi Hyukjae malah lebih tertarik dari sebelumnya. Hanya saja, dia masih belum bisa menanggapi pernyataan itu dengan baik. Jadi, dia hanya diam. Hyuri tertawa melihat reaksi minimnya. “Bagaimana kalau kau mengajakku nonton?”
“Ide bagus.”
***
Donghae sedang duduk di atas matras di kamar Hyukjae. Kedua tangan bertumpu pada lututnya, memegangi kepalanya yang tertunduk letih. Tubuhnya langsung berdiri tegap ketika sang pemilik kamar tersebut datang membuka pintu. Hyukjae berhenti di ambang pintu, agak terkejut melihat dirinya.
Anehnya, Hyukjae tidak tampak sesedih hari-hari biasanya. Bahkan jauh lebih baik, sebuah senyum mengembang di bibir pria itu. Berbanding terbalik dengannya, kecemasan menyelimuti Donghae sepanjang malam.
“Hyuk, kemana saja kau?” Tanya Donghae, tangannya sesekali mengacak rambutnya dengan gusar.
“Ke luar.” Hyukjae memasuki ruangan, berjalan menuju lemari es. “Kenapa?” Tanyanya sambil membuka sebuah kaleng soda.
“Semalaman?”
“Ya.”
Donghae tertawa getir. “Aku mencemaskanmu semalaman, dan apa yang kau lakukan sebenarnya di luar sana sendirian?” Dia menghampiri Hyukjae yang memunggunginya.
“Aku tidak sendirian,” Hyukjae berbalik, menyandarkan punggungnya pada lemari es seraya menatap Donghae. Dia tersenyum. “aku bertemu teman baru dan kami memutuskan untuk menonton dan sedikit berjalan-jalan.”
Donghae mengernyit, seperti tidak yakin dengan apa yang baru saja dia dengar. Ini aneh, sangat aneh. Baru saja kemarin dia menemukan Hyukjae sedang menangisi kematian anggita keluarganya, dan sekarang dia melihat sahabatnya itu tersenyum bahagia. “Teman baru, huh?”
“Jangan bertingkah seperti ini, Donghae. Seolah-olah hanya kau temanku.”
Donghae menyilangkan tangannya di depan dada. “Bukan itu maksudku.” Sanggahnya. “Aku hanya cemas. Lagipula, kau tidak mengajak teman barumu untuk nonton kecuali kalian berkencan. Temanmu seorang wanita, ‘kan?”
Hyukjae tersenyum malu-malu. “Ya, tapi kurasa ini tidak bisa dibilang kencan.” Sambil mengedikkan bahu, dia meletakkan kaleng soda di atas meja lalu berjalan menuju ranjang. “Kupikir kami sedang berjalan ke arah sana.”
Melihat wajah riang itu, tentu saja Donghae merasa begitu lega. Mungkin ini adalah jalan terbaik dari Tuhan tunjukkan, Hyukjae menemukan kembali kebahagiaannya. Tidak ada duka, tidak ada air mata.
Menurunkan tubuhnya pada ranjang, Donghae duduk di samping tubuh Hyukjae yang sedang berbaring. “Jadi, apakah dia cantik?”
“Dia manis.” Hyukjae memulai, melipat kedua tangan di bawah kepala sementara matanya menatap langit-langit kamar. Menerawang jauh. “Senyumnya sungguh langka dan dia juga sedikit aneh, tapi itu yang membuatku tertarik.”
“Apanya yang aneh?”
“Tingkahnya.” Hyukjae menjawab dengan antusias, kali ini dia menatap Donghae. “Kau tahu, aku tidak pernah menemukan wanita seterus terang dan segamblang dirinya. Dia sangat blak-blakan dan tak kenal malu.”
“Lalu menurutmu, itu baik atau buruk?”
“Baik, tentu saja pertanda yang baik. Itu menunjukkan bahwa dia adalah wanita yang jujur.”
Donghae tersenyum, dia tidak dapat menyembunyikan kelegaannya. “Kau pasti sangat menyukainya.”
Hyukjae kembali menatap langit-langit, lalu menggeleng pelan. “Kau salah, Lee Donghaek.” Dia menekankan. “Sahabatmu ini sedang jatuh cinta.”
***
Hyukjae tersenyum sambil memandangi wajah bidadari di hadapannya. Tangan kiri memangku dagunya, sementara tangan kanannya bermain dengan permukaan gelas berisi wine putih.
Dalam tiga pekan terakhir, hubungannya dengan wanita manis bernama Kim Hyuri berjalan mulus. Seringnya mereka bertemu membuat keduanya cepat akrab. Mulanya hanya ketidaksengajaan kemudian berujung pada rasa penasaran Hyukjae yang semakin membesar, dia sengaja menemui Hyuri untuk dapat mengobrol dengan wanita itu. Respon Hyuri sungguh di luar dugaan, wanita itu bahkan sangat senang dan meminta Hyukjae untuk bertemu lagi dan lagi.
Jalan-jalan di taman, nonton, minum kopi di kedai, membaca buku di perpustakaan, hingga makan di tempat makan di tempat makan pinggir jalan. Semua mereka jalani kurang dari satu bulan, tapi tidak satu pun Hyukae memiliki kesempatan untuk bertanya pada wanita itu tentang asal-usulnya.
Hyukjae tidak hanya menyukai wanita ini, dia sangat dan sangat ingin mengenal wanita ini lebih dalam. Harinya tidak pernah semenarik ini, dan dia menemukan dirinya ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan Hyuri. Bersama wanita ini, rasanya dia bisa melupakan semua kesedihan dan kemeranaannya. Hyuri adalah wanita yang memiliki pemikiran yang luas, wanita itu juga pintar. Dia bisa menimpali pernyataan Hyukjae, atau bahkan membuat lelucon yang membuatnya tertawa terbahak-bahak. Hyuri seperti sengaja diciptakan untuk mencerahkan hari-harinya yang kelam.
Mungkin, hidup bersama wanita ini akan sangat menyenangkan. Membuat dirinya lebih baik, membuat semuanya lebih baik. Batin Hyukjae.
Kini, keduanya duduk berhadapan di kursi mewah yang dipisahkan oleh meja yang sama mewahnya di dalam sebuah restoran terkenal di Seoul. Malam istimewa untuk sebuah pertemuan istimewa.
“Kau suka tempat ini?” Tanya Hyukjae.
Hyuri mendongak, mengalihkan tatapannya dari spagetti dan menatap Hyukjae tepat di mata. “Kau ingin aku jujur?” Hyuri bertanya balik, membuat Hyukjae mengangguk cepat-cepat. “Sejujurnya, aku tidak suka dengan pelayan yang mengantarkan makanan tadi. Dia benar-benar menggodamu tepat di hadapanku.” Komentarnya. “Selebihnya aku suka.”
Hyukjae tidak tahu harus tersenyum atau mengernyit, tapi akhirnya dia malah tertawa. “Aku tidak melihat dia melakukan itu.”
Hyuri menggelengkan kepalanya dalam ketidakpercayaan. “Dia memandangimu seolah kau adalah makanan lezat yang pantas untuk dibungkus dan dibawa pulang.”
Kali ini Hyukjae tertawa keras, membuat tamu lain melirik aneh padanya. Dia segera bergumam oops! “Jadi, kau cemburu?” Bisiknya pelan, tidak tahan untuk menggoda Hyuri lebih jauh.
“Tentu saja.” Jawab wanita itu blak-blakan.
Lima belas menit selanjutnya berlalu dalam diam. Masing-masing menikmati makan malam dengan khidmat. Saat Hyukjae meletakkan garpunya di atas meja dan mengangkat kepalanya untuk menatap Hyuri, ternyata wanita itu sudah terlebih dahulu menyelesaikan makanannya.
“Kau makan dengan cepat,” Komentar Hyukjae.
“Apakah itu pujian?”
Sambil mengelus dagunya menggunakan telunjuk, Hyukjae tersenyum. “Ya.”
“Terima kasih.” Hyuri tersenyum geli.
“Kau benar-benar menggemaskan.” Tangan Hyukjae meraih kepala Hyuri, mengelus rambut wanita itu pelan. “Hyuri, aku boleh bertanya sesuatu?”
“Tentu. Apa itu?”
“Aku hanya ingin tahu di mana kau bekerja, karena setiap sore aku menemukanmu di halte bus itu berpakaian kantor.”
Hyuri memajukan tubuhnya, meletakkan sikunya di atas meja. “Aku bekerja di perusahaan marketing.” Katanya. “Kau tidak perlu tahu di mana dan bagaimana, Hyuk Oppa. Itu akan sangat membosankan.”
“Aku tidak pernah menganggapmu membosankan.”
Hyuri terkekeh. “Gombal.”
“Aku serius.”
“Baiklah, Oppa.” Hyuri mengangguk, memilih untuk tidak berdebat. “Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sana?”
Itu merupakan pertanyaan yang sangat sensitif, jika saja orang lain yang menanyakannya. Tapi Hyukjae merasa biasa saja ketika wanita ini yang bertanya. “Mengenang seseorang.”
“Pasti orang yang sangat berarti dalam hidupmu.”
Hyukjae mengangguk. “Ya, kakak perempuan dan ibuku.”
“Kau terlihat menggenaskan.” Komentar wanita itu enteng.
“Memang.” Hyukjae mengaku. “Tapi tidak lagi, karena aku menemukanmu.”
One