CHAPTER 1 : Lucky Fans
Sudah satu jam lebih tepatnya, aku terus berjalan tanpa tujuan. Ingin pulang masih malas. Tidak tahu harus kemana, dan beginilah akhirnya. Berjalan sendirian di tepi jalan persis orang bodoh. Setidaknya mungkin secara tidak sengaja aku akan menemukan setumpuk uang di tong sampah, setelah itu langsung lari ke Senayan untuk membeli tiket konser Sukkie. Oke, itu pemikiran konyol. Mood yang tidak bagus sepertinya membuatku mulai tidak waras..
Salahkan mereka semua yang sudah menipuku dan membawa lari uang ku. Uang yang sudah ku kumpulkan hasil dari jerih payahku kerja selama berbulan-bulan harus lenyap di bawa lari orang-orang brengsek tak bertanggung jawab itu. Dan dengan bodohnya aku percaya mereka begitu saja.
Uang yang seharusnya ku gunakan untuk menonton konser Jang Geun Suk hari ini. Double shit. Konser tidak jadi uang pun tidak kembali. Katakan apa yang harus ku lakukan untuk para bajingan itu?
Sekarang aku tidak tahu harus kemana. Harusnya saat ini aku berada di dalam venue dan ikut bergabung dengan EELS meneriaki Sukkie. Sudah sejak tadi aku menahan diri ku untuk tidak membuka salah satu akun social milikku. Hanya demi menghindari berita-berita yang semakin membuatku iri dan akhirnya mendorongku untuk menerobos masuk ke dalam venue. Hey, aku masih belum mau di penjara karena membuat keributan.
Ini adalah konser pertama Sukkie di Indonesia setelah dengan berbagai cara kerja keras para admin untuk mendatangkannya. Harusnya aku ada di sana menonton konsernya. Dan apa yang ku lakukan di sini benar-benar membuatku muak. Tidak ada yang bisa ku lakukan selain mengumpat dan mengutuk para bajingan itu yang sudah membawa lari uangku.
Aku menghela napas panjang. Lelah karena berjalan tanpa henti sejak tadi mulai terasa di setiap persendian ku. Aku melangkahkan kaki ku ke arah pohon besar ketika mata ku tidak sengaja menangkap sebuah bangku panjang di letakan di sana, tidak jauh dari tempatku berdiri.
Aku mulai mendudukan diriku di sana, menopang dagu ku dengan sebelah tangan. Menatap sekitar. Aku baru sadar ternyata aku sudah berjalan cukup jauh. Kini aku berada di sebuah taman tidak jauh dari Mall besar yang ada di kota tempat aku tinggal.
Pandangan ku terhenti pada seorang laki-laki yang berdiri tidak jauh dari tempatku saat ini. Kedua alis ku bertaut ketika melihatnya seperti orang yang tengah kebingungan. Orang itu menoleh kesana kemari, sesekali menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dari tempat ku, aku juga bisa lihat kerutan di keningnya tanda jika orang itu memang sedang kebingungan.
Entah dari mana datangnya keberanian itu, aku pun memutuskan untuk menghampirinya. Cukup tampan. Batinku. Ketika jarak kami sudah mulai dekat.
Beberapa kali dia menghentikan orang-orang yang lewat di depannya. Berbicara sebentar lalu membungkuk singkat sambil tersenyum sebelum membiarkan orang-orang itu pergi. Aku mulai paham, dia orang Korea dan tidak bisa bahasa Indonesia. Pantas saja. Sepertinya dia ingin menanyakan sesuatu tapi satu pun tidak ada yang mengerti bahasanya.
Aku menarik napas lega. Enam bulan belajar Korea dan sering menonton dramanya, membuatku sedikit-sedikit mengerti bahasa mereka.
“Permisi. Ada yang bisa di bantu?” Orang itu menoleh. Kemudian tersenyum lebar ke arahku. Senyum yang menyiratkan kelegaan.
Dia membungkukan badannya singkat. “Hallo.” Sapanya ramah. “Akhirnya, ada juga yang mengerti bahasaku.” Katanya dengan nada lega yang kentara.
Aku tersenyum lembut ke arahnya. “Anda membutuhkan sesuatu, Tuan?”
“Ya. Aku tersesat. Bisakah kau tunjukan jalan menuju Hotel Mulia?”
“Oh, itu tidak jauh dari sini. Kita naik taxi saja, akan ku temani.”
“Terima kasih, Nona. Syukurlah aku bertemu denganmu.” Ucap pria itu begitu lega. Yang hanya aku balas berupa senyuman tipis.
Tempat kami saat itu di lalui cukup banyak taxi jadi tidak begitu sulit mendapatkan taxi. Selama perjalanan kami mengobrol sedikit. Hanya hal-hal sederhana. Obrolan ringan sekedar menghapus keheningan. Dan kesimpulan yang bisa ku ambil, dia adalah pria yang cukup baik dan menyenangkan. Juga sopan.
“Jsdi, kenapa kau bisa tersesat?”
“Awalnya aku hanya berniat jalan-jalan sebentar. Hanya sekitar Hotel. Tapi mendapati pemandangan kota Jakarta yang menarik perhatian ku ternyata membuatku berjalan cukup jauh.” Ucapnya. Terkekeh di akhir kalimatnya.
Deringan ponsel terdengar menginterupsi obrolan kami. Pria itu merogoh sakunya dan mengambil ponselnya di sana sebelum menempelkannya di telinga.
“Ada apa?” Diam-diam aku memperhatikannya lewat ujung mataku. Entahlah, aku merasa familiar dengan wajahnya. Aku berusaha untuk mengingat mungkin saja aku pernah bertemu dengannya sebelumnya. Tapi nihil. Aku tidak ingat apapun. “Aku tersesat tadi. Untung ada seorang gadis yang menolongku. Sekarang aku sedang menuju hotel. Sebentar lagi aku sampai.”
Aku buru-buru menatap lurus ke depan sebelum dia sadar jika aku memperhatikannya sejak tadi.
“Aish… cerewet sekali.” Gerutunya. Aku menoleh ke arahnya.
“Siapa?” Tanyaku basa-basi.
“Adikku.” Jawabnya. Aku hanya mengangguk beberapa kali tanda paham.
Tidak lama kemudian taxi yang mengantar kami sudah berhenti di depan lobi Hotel. Pria yang belum ku ketahui namanya itu segera menyerahkan beberapa lembar uang sebelum aku membuka dompetku. Aku menatapnya heran, tapi dia hanya tersenyum kemudian menjawab.
“Kau sudah menolongku. Jadi biarkan aku yang membayarnya. Lagi pula tidak baik seorang gadis membayari laki-laki. Itu sama saja kau menghina harga diriku.” Ucapnya. Kami pun hanya tertawa kecil setelahnya.
“Kalau begitu aku mengantarmu sampai disini saja. Kau tidak lupa jalan menuju kamarmu, kan?” Canda ku. Yang membuatnya terkekeh.
“Tentu saja tidak.” Jawabnya. “Tapi ikutlah dulu denganku sebentar. Ku rasa makan malam tidak buruk. Setidaknya biarkan aku membalas kebaikanmu.”
Aku buru-buru menggeleng. “Tidak perlu. Aku tulus membantumu. Lebih baik kau masuk, adikmu pasti sudah menunggu.”
Pria itu memasang wajah kecewanya. “Kau menolak tawaranku?” Tanyanya sarat kekecewaan. Membuatku merasa tidak enak.
“Hmm bukan begitu… aku… ah, baiklah aku akan ikut dengamu.” Senyum pun merekah dari kedua sudut bibirnya yang tertarik. Menggantikan raut kekecewaan yang beberapa detik lalu terpatri di wajahnya.
Tanpa aba-aba pria itu langsung menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya. “Aku akan menraktirmu apapun. Kau bisa makan apa saja yang kau mau.” Ucapnya riang. “Aku juga akan mengenalkanmu pada adikku. Dia orang yang sungguh menyenangkan. Aku yakin kau pasti akan menyukainya.”
Pria itu terus mengoceh sepanjang jalan dia membawaku menuju restoran di Hotel itu. Langkahnya terhenti di salah satu meja yang berada di sudut restoran. Jauh dari keramaian. Otomatis aku pun menghentikan langkahku. Di meja itu sudah ada seseorang yang duduk disana. Sekilas aku seperti mengenalinya. Dia duduk membelakangi kami sehingga aku tidak dapat melihat wajahnya.
“Maaf lama. Aku benar-benar tersesat tadi.” Pria itu mendudukan dirinya di salah satu kursi di meja itu dan mempersilahkanku duduk.
Pria yang duduk di sana menoleh ke arah kami dan mendengus keras. “Itu hukumanmu karena meninggalkanku. Harusnya kau menjagaku. Bagaimana jika ada yang menculikku? Setidaknya ajak aku jika ingin jalan-jalan.”
“Cih. Siapa yang mau menculik bayi besar sepertimu?”
“Kau tidak tahu? Banyak yang menginginkan ku. Terutama para gadis. Mereka semua-“
“Tsk. Sudahlah. Bilang saja kau ingin ikut jalan-jalan.”
“Itu kau sadar. Kenapa meninggalkanku? Harusnya kau ajak aku, biar kita tersesat bersama-sama. Aku bosan di hotel terus.”
Selama kedua orang itu terus beradu mulut, aku hanya bisa menganga tak percaya. Bahkan aku belum sempat mendaratkan bokong ku pada salah satu kursi restoran di sana karena keterkejutan yang tidak bisa ku kendalikan. Di depanku, orang yang begitu ingin ku temui, yang karenanya aku kerja mati-matian untuk mengumpulkan uang untuk membeli tiket konsernya, namun naas uang itu di bawa kabur oleh orang tidak bertanggung jawab.
Aku pasti sudah gila. Sanking frustasinya pasti imajinasiku mulai mengada-ada. Tidak mungkin. Tidak mungkin yang sedang duduk di hadapanku ini… Ya, Tuhan. Jika memang ini mimpi, ku harap aku tidak akan bangun secepat itu. Aku masih ingin memandang wajahnya sedekat ini.
“Nona?”
Aku tersentak ketika seseorang menyentuh bahuku. Pria yang beberapa menit lalu ku tolong karena tersesat, aku menatapnya dengan lamat. Sedetik kemudian aku memaki diriku dalam hati. Bagaimana mungkin aku mleupakan wajahnya. Bodoh. Dia Gunsama. Manager Jang Geun Suk. Dan pria yang sejak tadi beradu mulut dengannya itu Jang Geun Suk. My ultimate bias.
Tuhaaaaan, kau pasti begitu menyayangiku.
“Kau kenapa? Sakit?” Aku buru-buru menggeleng. “Duduklah.” Gunsama menarik salah satu kursi di samping Sukkie –begitu biasa aku memanggilnya. “Kenalkan, dia adik yang ku ceritakan padamu. Ah, aku lupa. Kita juga bahkan belum sempat berkenalan. Aku Gunsama. Siapa namamu?”
“Lisa. Namaku… Lisa.” Jawabku terbata.
“Lisa-ssi, senang bertemu denganmu.” Sukkie tersenyum ke arahku. Senyum yang menampilkan eyesmile-nya. Senyum yang menjadi favoritku. Lalu mengulurkan tangannya yang ku sambut dengan tangan gemetar. “Terima kasih sudah membantu Hyung-ku. Maaf jika dia merepotkanmu.” Aku hanya mengangguk kaku.
“Kau mau pesan apa, Lisa-ssi?” Tanya Gunsama sambil melihat-lihat buku menu. “Kami baru pertama kali ke Indonesia. Jadi tidak tahu makanan apa yang enak. Kau punya rekomendasi mungkin?”
“Hmm…” Aku mencoba melihat buku menu. Mencari makanan apa yang sekiranya enak. Ada banyak makanan western sebenarnya. Tapi makanan Asia juga tidak kalah banyak.
“Bagaimana dengan nasi goreng? Katanya makanan itu sangat enak.” Sukkie bertanya tanpa mengalihkan tatapannya dari buku menu.
Aku mengangguk. “Nasi goreng tidak buruk.” Kataku. “Ah, coba ini.” Aku menunjuk salah satu makanan padang. “Ini enak sekali. Kalian harus mencobanya.
“Yang mana?” Sukkie melirik buku menu milikku sekilas lalu membalikan buku menu yang ada di tangannya mencari menu yang baru saja aku tunjuk. “Hanya nasi dan daging.”
“Itu namanya rendang. Tapi aku jamin itu sangat enak.”
“Ini daging apa?”
“Daging sapi.”
“Ah, ini juga. Ini soto babat. Ini juga enak.” Aku kembali menunjuk salah satu menu.
“Wah, sate. Aku mau sate.” Gunsama tiba-tiba berseru senang.
Gunsama pun memanggil pelayan dan menyebutkan pesanan kami. Khusus untuk makanan padang, ada beberapa lauk yang di tawarkan. Dan Sukkie memesan semuanya. Jadilah meja begitu penuh saat makanan datang.
Aku meletakan tas ku di bawah meja agar tidak begitu mengganggu saat makan. Tiba-tiba saja Sukkie menyentuh sebuah bros milikku yang melekat di tasku. Hanya sebuah bros sederhana berbentuk bulat. Tapi yang istimewa bros itu ada gambar dirinya.
“Ini fotoku?” Tanyanya sedikit tak percaya. Aku mengangguk membenarkan.
Dia menatapku dan bros itu bergantian dengan kening berkerut. “Bagaimana bisa…”
“Bukan hanya itu.” Aku membuka tasku, mengambil sebuah note kecil yang juga bergambar dirinya lalu menunjukan padanya. Lalu dompet, tempat pencil, bahkan beberapa bolpen yang bergambar chibi-nya. “Masih banyak lagi yang ku punya. Tapi aku tidak mungkin membawanya semua.”
“Aku bisa melihat ponselmu?” Tanyanya. Tanpa banyak bertanya aku pun menyerahkan ponselku. Dan dia melihatnya, dimana case ponselku beserta gantungannya semua tentang dirinya. “Jangan bilang jika kau menyimpan fotoku di dalam sini.” Ucapnya sambil mengangkat ponselku. Aku kembali mengangguk.
“Aku bahkan menyimpannya di folder khusus.”
Sukkie membuka sedikit mulutnya tidak percaya. “Kau… fans ku?” Dan pertanyaannya hanya aku jawab dengan cengiran lebar.
“Lebih tepatnya fans beratmu.” Tapi kemudian dia menggeleng.
“Aku tidak percaya.”
“Kenapa?”
“Kau seperti bukan seorang fangirl. Kau tidak melakukan apapun saat bertemu denganku. Kau terlalu tenang untuk ukuran seorang fangirl.”
“Kau mengharapkan aku berteriak seperti orang kesurupan dan meloncat-loncat, begitu? Jika kau mau tahu, aku bahkan harus menahan degup jantungku yang terus berdetak cepat sejak tadi.” Jawabku jujur.
“Benarkah?” Aku langsung membulatkan mataku kaget. Bahkan aku harus menahan napasku untuk beberapa saat karena kegugupan yang tiba-tiba melandaku. Bukan karena pertanyaannya, melainkan karena dia yang tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke arah ku dan membuat wajah kami hanya berjarak beberapa centi.
“Ya! Kau membuatnya gugup.” Tegur Gunsama. Menepuk pundak Sukkie membuat pria itu langsung menjauhkan wajahnya sambil terkekeh.
“Aku hanya sedang mengetes. Dan ternyata kau memang fans ku. Lihatlah, wajahmu memerah.” Dan setelahnya dia tertawa puas. Membuatku langung merasa bodoh saat itu juga.
“Aish… anak ini. Jangan hiraukan dia, Lisa-ssi. Otaknya memang sedikit tidak waras.”
“Tapi faktanya pria dengan otak tidak waras ini di gilai begitu banyak gadis, Hyung. Dan kau bekerja dengan orang tidak waras. Berarti kau lebih tidak waras di banding aku.” Sukkie kembali tertawa melihat wajah Gunsama yang kini tertekuk karena ucapannya. Dan tidak bisa di tutupi, aku pun hampir terbahak karenanya. Tapi sebisa mungkin aku mencoba untuk menahan. Setidaknya aku seorang wanita, sangat buruk jika tertawa selepas itu di tempat umum.
Tidak lama makanan pun datang dan kami mulai memakan pesanan kami masing-masing. Di tengah kegiatan makan kami, Sukkie melirik ke arah makanan ku.
“Itu apa yang kau makan?” Tanyanya penasaran.
“Ini namanya pempek.” Sukkie mengerutkan keningnya menatapku.
“Namanya aneh.” Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.
“Tapi ini sungguh enak. Ini terbuat dari tepung terigu dan ikan yang di haluskan.”
“Boleh aku mencobanya?” Aku mengangguk dan segera menyodorkan mangkuk ku ke hadapannya. Tapi tertahan karena dia justru meraih tanganku yang tengah memegang sendok. Menyendokan makanan itu hingga menyuapkan ke mulutnya dengan tangannya yang berada di atas tanganku. Aku hanya mampu diam terpaku saat Sukkie melakukan semua itu. Dan aku bisa merasakan bagaimana wajahku kini terasa panas.
“Woaah… benar. Ini enak.” Sukkie melebarkan matanya. Menatapku dengan sorot berbinar. “Hyung, ini enak sekali. Kau harus mencobanya.” Ucapnya pada Gunsama yang saat itu tengah menikmati satenya.
Setelah itu Sukkie memanggil salah satu pelayan. “Aku mau makanan seperti gadis ini. Dua porsi.” Ucapnya. Pelayan itu mengangguk kecil sebelum akhirnya berlalu untuk menyiapkan apa yang di pesan Sukkie barusan.
Makan malam hari itu berjalan dengan lancar. Obrolan ringan yang sesekali di selingi tawa kecil menemani makan malam kami kala itu. Inikah yang di sebuk lucky fans? Sungguh, aku benar-benar merasa beruntung. Bukan sekantong uang yang ku temukan di tong sampah seperti yang ku harapkan beberapa jam sebelumnya. Tapi lebih dari itu. Ini bahkan lebih dari berharga dari sekarung uang sekali pun.
“Kita masih memiliki satu hari lagi disini. Hyung, ayo kita jalan-jalan.” Ucap Sukkie. Gunsama hanya mengangguk tanpa menoleh ke arahnya. Sibuk dengan ayam bakar setelah satu porsi sate dia habisi sendiri.
“Boleh.” Jawabnya singkat. Sukkie mendengus keras melihat kelakuan manager yang sudah dia anggap seperti Hyung-nya itu.
“Bahkan dia lebih mementingkan sepotong ayam di banding denganku. Benar-benar.” Gerutunya.
“Aku mendengarmu, jika kau mau tahu.” Ujar Gunsama tiba-tiba. Masih tidak mengalihkan fokusnya dari ayam bakar di tangannya. Lagi-lagi Sukkie hanya mendengus.
“Lisa-ssi, bagaimana jika besok kau temani kami jalan-jalan? Kau kan tinggal disini, kau pasti tahu tempat mana saja yang menarik untuk di kunjungi.” Aku terdiam mendengar ajakan yang tiba-tiba tersebut. Mencoba meyakinkan diriku sendiri jika telingaku sedang baik-baik saja saat ini hingga tidak salah dengar. “Itu pun jika kau tidak keberatan.” Lanjut Sukkie cepat.
Aku langsung menggeleng keras. “Tidak. Tidak.” Ucapku kelewat antusias. “Aku tidak keberatan sama sekali. Besok aku akan kesini untuk menjemput kalian.” Kataku tersenyum lebar. Yang di balas Sukkie dengan senyum tak kalah lebarnya.
“Terima kasih.” Ucapnya. Dan Aku harus berpegangan pada ujung bangkuku agar tidak jatuh begitu saja ketika melihat senyum eyesmile-nya lagi. Ya, Tuhan. Dia benar-benar tampan. Apa dia malaikat? Siapapun, bisakah tampar aku sekarang untuk membuktikan jika ini semua bukanlah mimpi?
“Menurutmu, bagaimana penampilanku tadi?” Tanya Sukkie tiba-tiba. Aku sedikit tersentak. Menormalkan keadaanku sebentar sebelum menjawabnya.
“Penampilan? Penampilan apa?” Tanyaku tidak mengerti.
“Penampilanku saat di panggung tadi.” Jawabnya. “Bagaimana menurutmu? Tadi ada beberapa kesalahan yang aku lakukan, aku khawatir kalian kecewa pada penampilanku.”
Aku mulai mengerti arah pembicaraannya. Seketika membuatku teringat kejadian tidak mengenakan itu. “Hmm itu… aku tidak datang ke konsermu.” Jawabku pelan.
Sukkie menoleh dan menatapku. “Tidak datang? Kenapa? Kau bilang kau fansku.”
Aku tersenyum kaku. Mengusap tengkukku dan bicara perlahan. “Aku kena tipu. Aku membeli tiket pada orang yang salah. Uang ku di bawa pergi sedangkan aku tidak mendapatkan tiketnya.”
“Kena tipu? Bagaimana bisa?” Tanyanya sedikit terkejut.
Aku meringis lebar. “Yah, aku saja yang ceroboh. Mudah percaya pada orang lain.”
“Berapa uangmu yang di bawa pergi?”
“Cukup banyak.”
“Apa itu hasil kau mengumpulkan sendiri atau dari orang tuamu?” Aku menggeleng lemah.
“Aku mengumpulkannya dari gajiku selama beberapa bulan.” Bisa aku dengar Sukkie menarik napasnya.
“Lain kali kau harus lebih hati-hati lagi.” Nasehatnya. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.
***
Matahari cukup terik hari itu meski jam dinding masih menunjukan pukul sepuluh pagi. Bahkan beberapa pengunjung Hotel baru ada yang turun dari kamar mereka untuk menikmati sarapan. Aku sudah menginjak lobi Hotel bahkan ketika jarum panjang jam belum sampai di angka dua belas. Sukkie sudah menunggu di lobi. Aku melambai dan tersenyum ke arahnya. Yang juga di balas lambaian serta senyum cerah darinya.
Pagi itu dia hanya mengenakan kemeja putih polos yang tangannya dia gulung hingga siku serta celana khaki yang dia gulung hingga atas mata kakinya. Di padukan dengan sneakers putih miliknya. Simple namun tampan.
Sukkie hanya sendiri. Tidak ada Gunsama di sampingnya. Memancingku untuk bertanya padanya.
“Dimana Gunsama Oppa?”
Yah, aku memanggilnya Oppa. Itu adalah permintaan langsung darinya. Menurutnya, karena dia lebih tua dariku jadi sudah seharusnya aku memanggilnya seperti itu. Tanpa banyak protes aku pun menuruti saja apa yang di ucapkannya.
“Dia masih di atas. Sebentar lagi juga turun.” Jawab Sukkie. Tidak lama Sukkie mangatakan itu, Gunsama terlihat keluar dari salah satu lift dan berjalan ke arah kami dengan sedikit tergesa.
“Maaf, sepertinya aku tidak bisa ikut acara jalan-jalan kita hari ini.” Ucapnya penuh penyesalan ketika sudah sampai di hadapan kami. Sukkie mengerutkan keningnya bingung.
“Kenapa?”
“Barusan salah satu pihak promotor yang mengadakan konsermu kemarin, meminta untuk bertemu. Dan sepertinya ini akan memakan waktu cukup lama.” Jelas Gunsama.
“Kenapa mendadak sekali?” Tanya Sukkie lagi. Tidak mengerti. Gunsama menggeleng tanda dia juga tidak tahu.
“Aku juga tidak tahu.” Ucapnya. “Ya sudah, aku pergi duluan. Kau jangan pulang terlalu malam. Besok pagi-pagi sekali kita harus kembali ke Seoul.” Gunsama menepuk pundak Sukkie sekali sebelum berlalu dari hadapan kami.
“Jadi bagaimana? Kita tetap pergi atau-“
“Tentu saja. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktu ku yang berharga.” Potongnya cepat. “Ayo!” Dan Sukkie meletakan tangannya untuk melingkar di bahuku sebelum dia membawaku ke luar Hotel. Dan demi Tuhan, itu membuat ku hampir lupa bagaimana caranya bernapas. Salahkan Sukkie jika sehabis ini aku di diagnosis memiliki penyakit jantung.
Cuaca yang panas tidak menyurutkan semangat kami –Sukkie khususnya- untuk terus mengelilingi kota Jakarta. Berawal dari aku mengajaknya ke Museum Fatahillah. Di mana banyak sejarah Jakarta tersimpan di sana. Lalu berlanjut ke Dunia Fantasi setelah sebelumnya menghabiskan sebagian waktu di pasar santa untuk menikmati kuliner pinggir jalan. Awalnya aku khawatir Sukkie tidak akan menyukainya. Tapi di luar dugaan. Dia menyukai semua yang ku tunjukan padanya.
“Jakarta juga memiliki Eiffel. Kau tidak tahu, kan?” Kataku pada suatu siang ketika kami sedang istirahat di salah satu toko makanan setelah lelah menaiki berbagai macam wahana di Dunia Fantasi.
“Oya? Kau tidak sedang bohong, kan? Aku belum pernah mendengar sebelumnya.” Ucapnya sedikit tidak percaya.
“Tentu saja tidak. Nanti, akan ku tunjukan padamu.”
Setelah menghabiskan dua potong burger dan segelas besar black soda. Aku pun mengajaknya ke suatu tempat yang sudah ku janjikan padanya. Eiffel yang di miliki Indonesia.
Matahari baru saja tenggelam ketika kami memutuskan keluar dari Dunia Fantasi. Jalanan Jakarta mulai ramai oleh lampu-lampu kendaraan dan gedung-gedung tinggi yang memadati kota Jakarta.
Taxi yang kami tumpangi mulai memasuki kawasan Monumen Nasional. Ketika gerbang menuju ke dalam mulai terlihat taxi pun berhenti. Aku segera menarik Sukkie masuk ke dalam dengan berjalan kaki. Banyak penjual kaki lima yang kami temui disana. Suasana Monumen Nasional cukup ramai di malam hari. Sebelum kami benar-benar masuk ke dalam, Sukkie berhenti di depan penjual gulali. Aku biasa menyebutnya harumanis. Sukkie membeli dua dan memberikannya satu untukku. Setelah itu kami kembali melanjutkan langkah kami.
“Lihat!” Aku menunjuk ke atas. Ke arah tugu Monumen Nasional yang berdiri tegak dengan cahayanya yang berpendar. “Memang tidak seindah menara Eiffel. Tapi tugu ini salah satu kebanggaan Negara kami.” Jelasku.
Sukkie mengamati dengan begitu serius sambil sesekali memakan permen gulalinya. Lalu mengangguk-angguk beberapa kali. “Ya, ini memang tidak seindah menara Eiffel. Tapi tugu ini tidak kalah bagus. Bentuknya sederhana namun indah. Terkesan elegan. Apa tadi namanya?”
“Tugu peringatan Monumen Nasional. Kami biasa menyebutnya tugu Monas.” Kembali Sukkie mengangguk-anggukan kepalanya.
“Tapi bentuk apa ini sebenarnya?” Aku tersenyum sebelum kembali menjelaskan.
“Ini seperti obor api. Dan yang di ujung itu mengibaratkan lidah api.”
“Aaah begitu.”
“Dan bentuk kobaran lidah api itu terbuat dari emas sepenuhnya.”
“Benarkah?” Sukkie langsung menoleh menatapku dengan tatapan –kau-pasti-bercanda. Aku hanya tersenyum kecil dan mengangguk setelah itu. “Woaah… daebak! Kalau begitu bisakah aku naik ke atas sana dan mengambil emasnya?”
“Silahkah. Setelah itu kau harus siap menjadi buronan Negara. Bahkan mungkin kau akan di deportasi dari Negara mu sendiri.”
“Aish… kedengarannya menyeramkan. Tidak jadi kalau begitu.” Ucapnya dengan wajah sepolos mungkin. Aku pun hanya terkekeh kecil melihatnya.
Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Baru jam tujuh.” Ucapku. “Satu jam lagi kita pulang. Kau mau kemana lagi?” Tanyaku kemudian.
Sukkie terlihat mengedarkan pandangannya ke setiap sudut taman. Lalu dia menunjuk salah satu sudut. “Kita duduk disana saja, bagaimana?” Katanya sambil menunjuk bangku panjang yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aku hanya mengangguk kecil kemudian mengikuti langkahnya.
“Sebenarnya kita bisa masuk ke dalam sana.” Aku menunjuk tugu Monas setelah kami sama-sama menghempaskan bokong kami pada bangku panjang yang tadi di tunjuk Sukkie.
“Ada apa didalam sana?”
“Museum juga. Semua cerita bagaimana dulu Indonesia di jajah, ada di sana. Lengkap dengan miniatur orang-orangnya. Tapi jam segini sudah tutup.” Sukkie hanya mengangguk paham. Setelahnya keheningan sempat menyelimuti kami.
Saling sibuk dengan pikiran masing-masing. Sukkie terlihat sibuk memperhatikan sekitar. Sesekali sudut-sudut bibirnya tertarik kala melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.
“Kau tahu? Rasanya menyenangkan sekali bisa jalan-jalan seperti ini.” Ucapnya setelah beberapa saat kami terdiam. “Dengan jadwal ku yang begitu padat, bisa jalan-jalan seperti ini adalah sesuatu yang sangat berharga.” Katanya tersenyum senang. “Terima kasih, Lisa-ssi.” Lanjutnya. Menatapku dengan binar matanya yang penuh dengan kebahagiaan. Aku hanya mengangguk dan tersenyum tulus untuk membalas ucapannya. “Sayangnya, waktu berjalan begitu cepat.” Ucap Sukkie dengan nada sedikit kecewa.
“Aku juga… sangat senang. Andai waktu bisa berhenti hanya untuk sesaat.” Gumamku pelan.
“Hm? Kau mengatakan sesuatu?” Tanya Sukkie. Menatap ke arahku. Buru-buru aku menggeleng.
“Tidak. Aku tidak mengatakan apapun.”
***
Sukkie menutup pintu taxi setelah kakinya menginjak depan Hotel tempatnya bermalam. Dia menunduk di depan pintu taxi yang kacanya sengaja aku buka sebelum benar-benar masuk ke dalam.
“Sekali lagi, terima kasih, Lisa-ssi. Hari ini benar-benar menyenangkan.” Ucapnya. Aku pun mengangguk sambil tersenyum ke arahnya.
“Sama-sama. Senang bisa menemanimu jalan-jalan. Aku titip salam untuk Gunsama Oppa. Cepatlah masuk, kau haru segera istirahat. Kau tidak boleh terlalu lelah. Bukankah lusa kau masih ada konser di Jepang?”
“Bisakah aku meminta satu permintaan lagi padamu? Untuk terakhir kalinya… mungkin.” Katanya. Tidak mengacuhkan ucapanku barusan yang menyuruhnya untuk segera masuk.
Salah satu alisku terangkat naik. Menatapnya bingung. “Apa?” Tanyaku akhirnya.
“Besok… bisakah kau datang ke bandara? Setidaknya sebelum kita benar-benar berpisah aku ingin bertemu denganmu sekali lagi.” Aku hanya diam saat mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tidak tahu harus bicara apa. Permintaan itu… entah kenapa membuat jantungku tiba-tiba berdegup sangat kencang. Memukul-mukul dadaku hingga menimbulkan sedikit rasa sakit disana.
“Lisa-ssi?” Aku tersentak ketika Sukkie menggerakan tangannya di depan wajahku. “Kau melamun?” Tanyanya. “Aku tidak akan memaksa. Jika kau keberatan tidak apa-apa.”
“Tidak. Tidak. Tentu saja tidak.” Kataku cepat. “Tentu. Aku pasti akan datang.” Ucapku semangat. Dan dia kembali menampilkan senyum favoritku.
“Terima kasih.” Katanya lagi. “Kalau begitu segeralah pulang dan istirahat. Sampai bertemu besok.” Sukkie menegakan tubuhnya dan melambaikan tangannya ketika taxi yang tadi membawa kami mulai bergerak dan perlahan meninggalkan area hotel serta dirinya di belakang sana.
Aku memegang dadaku di mana jantungku tengah berdetak dengan kencang. Tapi entah kenapa aku menyukai detakan ini. Terasa menyenangkan. Tanpa sadar aku tersenyum-senyum sendiri. Mengabaikan tatapan supir taxi yang menatapku aneh dari spion yang berada di atas kepalanya.
***
Hari dimana Sukkie harus kembali ke Seoul. Hari yang sebenarnya jika boleh jujur tidak pernah ku harapkan. Akhirnya datang juga. Di sini aku sekarang. Berdiri di tengah-tengah ramainya orang-orang yang berlalu lalang. Bergabung bersama mereka yang juga tengah mengantarkan orang-orang yang mereka sayangi untuk pergi ke belahan Negara lain.
Suara dari seorang operator wanita terdengar. Menginformasikan jika pesawat tujuan Indonesia-Seoul akan segera berangkat. Memberitahukan bagi para penumpang untuk segera bersiap dan mulai memasuki kabin pesawat.
Aku terdiam dengan pikiranku. Setelah ini, mungkin aku akan kembali mengagumi Sukkie lewat layar kaca. Setidaknya aku cukup beruntung dan berterima kasih pada Tuhan karena telah memberikan kesempatan berharga ini. Aku tidak akan mungkin melupakannya.
Aku tersentak ketika ada sepasang tangan kekar yang menarik ku hingga membuat wajahku bertemu pada sebuah dada bidang. Aku terpaku ketika menyadari bahwa Sukkie tengah memelukku. Dan entah kenapa ini membuat sesuatu yang hangat ingin mendesak keluar dari mataku.
“Jika kau ke Seoul, temuilah aku. Aku janji, aku akan membawamu keliling Seoul. Mengajakmu ke tempat-tempat indah di Seoul. Kau tahu kan kemana harus mencariku?” Aku tidak sanggup mengatakan apapun selain anggukan pelan yang menandakan jika aku mendengar semua ucapannya.
Sukkie melonggarkan pelukannya hingga akhirnya terlepas. Dia menatap wajahku yang entah sejak kapan sudah banjir akan air mata. Kedua tangannya terangkat untuk menangkup pipiku. Mengusap air mataku dengan kedua ibu jarinya.
“Kau lebih cantik jika tersenyum.” Katanya. Tanpa melepaskan tatapanku dari wajahnya perlahan kedua sudut bibirku tertarik. “Nah, seperti itu.” Entah keberanian dari mana aku mampu menatap kedua iris hitam jernih miliknya.
“Aku harus pergi. Jaga dirimu baik-baik.” Ucapnya lagi. Kemudian kembali memelukku. Tidak selama seperti sebelumnya. Hanya pelukan singkat sebelum dia berbalik dan mulai melangkah menjauhiku.
Aku masih menatap punggungnya ketika tiba-tiba dia menghentikan langkahnya. Kemudian berbalik dan kembali berjalan ke arahku. Kedua alis ku terangkat naik menatapnya. Dia berhenti tepat di hadapanku. Menatapku sebentar sebelum dia memajukan wajahnya dan mengecup pipiku. Cukup mengejutkan. Ah, tidak. Sangat mengejutkan. Aku membelalakan kedua mataku menatapnya tak percaya. Dia tersenyum lebar menatapku.
“Aku serius akan menunggumu di Seoul. Berjanjilah untuk datang.”
Seulas senyum cerah terukir di bibirku. Kemudian anggukan mantap aku berikan untuknya. Dia melambaikan tangannya dan mulai kembali melanjutkan langkahnya.
“Geun Suk Oppa!” Teriakku ketika dirinya sudah berada jauh di depan sana. Dia berbalik dan menatapku. “Jangan lupakan aku.” Kataku. Tanpa peduli malu jika sebagian orang-orang tengah menatapku aneh.
Sukkie tersenyum manis sebelum menjawab. “Tidak akan.” Jawabnya dengan suara yang tak kalah keras. Dengan semangat aku melambaikan tanganku bahkan ketika punggungnya mulai hilang di telan kerumunan orang-orang.
–
–
–
–
–
“Jangan memberikan harapan jika kau tidak benar-benar tertarik padanya. Kau bisa menyakitinya.” Tanpa menatap artisnya, Gunsama mencoba memberikan pendapatnya.
Tanpa mengehentikan langkah mereka, Sukkie memakai sunglesses hitam miliknya. Menatap lurus ke depan lalu menjawab. “Jadi, menurutmu aku tidak tertarik padanya?” Lantas Gunsama menoleh menatap Sukkie. Cukup lama, namun tidak ada satu kata pun yang keluar. Sukkie sendiri tidak mengatakan apapun lagi. Dia hanya mengulas senyum tanpa menatap managernya. Senyum yang sulit di artikan.
.
.
.
-FIN-