DREAMERS.ID - Siapa sangka jika hasrat seksual bisa menjadi masalah besar dan darurat untuk keberlangsungan sebuah negara. Karena dampaknya akan mempengaruhi populasi yang turun drastis, tidak ada regenerasi dan membuat negara tidak produktif dalam beberapa tahun ke depannya.
Melansir Liputan6, Jepang yang kini mengalami fenomena yang dinamakan gejala resesi seks atau menurunnya hasrat kaum muda berhunungan seksual yang ternyata mulai terasa bahkan melanda dunia. Artinya, kaum muda di seluruh dunia kini berhubungan seks lebih sedikit dari generasi sebelumnya dan Jepang ada di garid terdepan.
Jepang memiliki tingkat kesuburan terendah di Bumi, bahkan banyak anak mudanya yang tidak pernah memiliki hubungan romantis. Seperti Shota Suzuki, seorang penjaga gedung di Tokyo yang selepas bekerja lebih suka nongkrong dengan teman-temannya. Di usia ke-28, Suzuki tidak pernah memiliki hubungan romantis dan pesimis akan pernah mengalaminya.
"Ya, saya masih perawan," katanya kepada CBS News, Minggu (3/11/2019). "Aku ingin menikah, tetapi aku tidak dapat menemukan pasangan."
Sebuah tinjauan dari Survei Fertilitas Nasional Jepang mengungkapkan, keperawanan sedang meningkat; satu dari setiap 10 pria Jepang berusia 30-an masih perawan. Itu menempatkan tingkat keperawanan Jepang jauh di depan negara-negara industri lainnya.
Baca juga: [Exclusive Dreamers.id] DXTEEN Spill Deg-Degannya Pertama Kali Perform Di Depan NICO Indonesia!
"Sebagian besar dari orang-orang ini tidak dapat menemukan pasangan di pasar," Peter Ueda, seorang peneliti kesehatan masyarakat di Universitas Tokyo, mengatakan kepada CBS News. Dia membunyikan alarm tentang tingkat keperawanan Jepang yang melonjak, yang dia perhatikan adalah, "sebenarnya yang tertinggi yang pernah tercatat di negara berpenghasilan tinggi."Khususnya untuk Jepang, yang telah jauh dari penurunan populasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, kekeringan seks adalah berita buruk. Jika tren ini meningkat, populasi Jepang akan runtuh lebih dari setengah selama abad berikutnya.
Penurunan angka kelahiran sering dikaitkan dengan jam kerja yang panjang dan terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk online. Namun Ueda mengatakan ia mencurigai kerawanan keuangan dan pekerjaan adalah pemicu utama.
"Dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki pekerjaan tetap, mereka yang memiliki pekerjaan paruh waktu atau sementara empat kali lebih mungkin tidak berpengalaman secara heteroseksual pada usia 25 hingga 39 tahun, dan mereka yang menganggur delapan kali lebih mungkin," katanya.
Para warga usia produktif tersebut merasa tidak menghasilkan cukup uang untuk menikah karena hanya cukup untuk menghidupi diri sendiri. Mereka justru merasa dirugikan bila menikah. Para peneliti pun memperingatkan jika masalah ini bisa menyasar Amerika Seikat yang mengalaminya selanjutnya.
(rei)