DREAMERS.ID -Hari Anak Nasional diperingati setiap tanggal 23 Juli, untuk tahun ini Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyorot sejumlah kasus serius mulai dari perudungan (bullying) hingga kejahatan siber (cybercrime). Hal tersebut menjadi prioritas penanganan dengan membangun revolusi mental.
"Komitmen penyelenggaraan perlindungan harus menjadi kesadaran kolektif kita. Membangun revolusi mental harus dimulai dari pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan khusus dari kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi," kata Asrorun Ni'am Soleh selaku Ketua KPAI dalam keterangan tertulisnya 22 Juli 2017, seperti yang dikutip dari detik, Minggu (23/7).
Meski ada kemajuan dalam perlindungan anak, namun kasus pelanggaran anak masih terbilang kompleks, pada tahun 2014 mencapai 5.066 kasus, tahun 2015 sebanyak 4.309 kasus dan tahun 2016 mencapai 4.620 kasus.
"Anak menjadi korban dan pelaku kekerasan menjadi persoalan serius. Kasus bullying, anak menjadi korban terorisme dan anak korban cyber serta pornografi menjadi cacatan penting. Khusus pornografi merupakan kasus yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Data tahun 2016, anak korban pornografi mencapai 587 kasus. Hal ini menduduki rangking ke-3 setelah kasus anak berhadapan dengan hukum mencapai 1.314 kasus dan kasus anak dalam bidang keluarga 857 kasus," terangnya.
Baca juga: Menilik Sejarah Ditetapkannya 23 Juli Sebagai HANS, Selamat #HariAnakNasional2020
KPAI lantas meminta Mendikbud agar serius dalam melakukan pencegahan dan menanggulangi masalah anak khususnya dalam pendidikan. Pelaku kekerasan yang tergolong masih anak sebaiknya mendapat penanganan khusus melalui pendekatan pemulihan, atau restoratif. Jangan mematikan masa depan si anak, menghilangkan hak dasarnya, apalagi mendorong anak untuk melakukan perbuatan salah tanpa pemulihan.Sebagai informasi, perlindungan anak juga tak lepas dari peran masyarakat, memang respon publik terhadap isu anak semakin baik, namun spirit untuk melindungi belum berjalan sepenuhnya. Hal itu terlihat dari banyaknya kasus anak yang diviralkan melalui media sosial, padahal penyebaran video kekerasan anak merupakan pelanggaran hukum yang dapat merugikan si anak, baik korban maupun pelaku.
Semoga kita dapat bersikap lebih bijaksana ya dalam hal memposting sesuatu di media sosial..
(dits)