DREAMERS.ID - Respon netizen terkait kasus penyerangan dengan pisau terhadap Menko Polhukam Wiranto yang menyebabkan luka hingga operasi, masih terlihat beragam. Bahkan ada yang terang-terangan tidak percaya dan mengatakan penyerangan tersebut adalah rekayasa.
Via laman Detik, pengamat terorisme dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Sidratahta Mukhtar menyebut dugaan adanya masalah intelijen dalam kasus penusukan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto. Informasi intelijen soal pelaku penusukan SA alias Abu Rara tidak terdistribusi dengan baik.
"Ini kan sekarang Menkopolhukan mewadahi BIN, Polri, dan badan keamanan lainnya. Kalau kepala BIN katakan 3 bulan sebelumnya sudah terdeteksi. Ke mana distribusi informasi dilakukan?" ucap Sidratahta.
Menurutnya, seharusnya sebelum Wiranto datang ke lokasi acara di Pandeglang, Banten tersebut, ada tukar informasi intelijen yang berujung adanya tindakan pencegahan sebelum terjadinya penyerangan. Padahal, kondisi keamanan Indonesia sedang rawan sehingga harusnya ada upaya lebih dari pihak keamanan maupun intelijen.
Baca juga: Momen Wiranto Keluar RSPAD Sementara untuk Perpisahan di Kemenko Pulhukam
"Ada faktor komunitas keamanan atau komunitas intelijen di daerah kejadian tidak koordinasi atau bahkan tidak ada rapat sebelumnya. Biasanya kan ada koordinasi Kominda (Komunitas Intelijen Daerah), komunitas intelijen lokal, pasti ada. Misalkan datang menteri, pasti siapa yang potensi radikal di daerah ini. Kan ada sharing. Kok tidak terjadi inteligen sharing sebelum Pak Wiranto (datang)," kata Sidratahta."Saya agak setuju kalau disebut ada kebobolan intelijen, ada sistem intelijen tidak terintegrasi. Ke dua, ada faktor efektifitas. Mestinya kalau ada potensi, bayangkan Menkopolhukan datang ke wilayah, padahal baru-baru ini sedang terjadi konflik parah dari Papua, ekses-kan di mana-mana," kata Sidratahta.
Ia juga menyayangkan dan menyoroti polisi yang tidak memiliki jiwa peringatan dini. Sehingga membiarkan pelaku dekat dengan Wiranto sebelum melakukan aksi. Bahkan, posisi pelaku ada di dekat polisi.
"Kalau saya lihat foto sosok diduga teroris, kan Abu Rara dan istri, dia berdiri di sebelah polisi. Saya sering berikan ceramah, pendidiakn pada polisi, kalau memiliki security mind, polisi itu segera lakukan deteksi cegah, tapi itu tidak terjadi. Hanya persepsi itu orang biasa. Maka polisi itu tidak pahami lingkungan di area lingkungannya," kata Sidratahhta.
"Sekarang, ketika UU baru direvisi (UU 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme), sudah dilibatkan fungsi direradilakisasi, ada pencegahan dini lebih bagus. Tapi sayang penindakan terorisme masih menggunakan UU lama," ucap Sidratahta.
(rei)