DREAMERS.ID - Beda negara, beda pula cara tiap negara dalam meneggakan hukum. Termasuk menjatuhkan hukuman bagi para pelaku korupsi yang sangat merugikan negara.
Di Cina, seseorang yang terbukti melakukan korupsi dan menyebabkan kerugian negara lebih dari 100 Ribu Yuan atau sekitar Rp 215 Juta akan dihukum mati. Tak hanya Cina, Malaysia juga menerapkan hukuman mati berupa hukuman gantung bagi para pelaku korupsi sejak tahun 1997.
Malaysia bisa dibilang sudah peduli dengan tindak korupsi jauh sebelum Indonesia. Sejak tahun 1961, Malaysia sudah mempunyai undang-undang anti korupsi yang dinamakan Prevention of Corruption Act. Di tahun 1982 dibentuk Badan Pencegah Rasuah (BPR) yang memiliki fungsi yang sama seperti KPK di Indonesia.
Berbeda dengan Malaysia, kesadaran anti korupsi dan pendidikan akan bahaya korupsi diutamakan negara Jepang dan Korea Selatan bagi generasi mudanya. Di kedua negara ini, budaya malu amat tinggi sehingga korupsi dianggap aib besar.
Di tahun 2007, mantan Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Jepang, Toshikatsu Matsuoka bunuh diri dikediamannya di Tokyo pada umur 62 tahun karena tidak tahan dengan tekanan atas skandal korupsi dirinya.
Sama seperti Jepang, mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo Hyun juga memutuskan bunuh diri dengan cara terjun bebas dari tebing di belakang kediamannya di Bongha. Roh Moo Hyun tidak tahan dikucilkan oleh keluarganya sendiri setelah terbukti melakukan korupsi.
Sementara Amerika memiliki caranya sendiri, yaitu menjatuhkan vonis hukuman penjara dan denda dengan nilai fantastis bagi koruptor. Nilainya tidak tanggung-tanggung, bahkan bisa mencapai 2 juta dolar.
Dinegara kita, Indonesia, hukuman bagi koruptor tertuang dalam pasal 2 ayat 1 UU Tipikor yang berbunyi, "Setiap orang yang melawan hukum, melakukan perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, maka dipidana penjara dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Sementara, untuk denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."
Meski sudah tertuang dalam pasal undang-undang, pada praktiknya banyak terpidana korupsi yang menyelesaikan masa tahanan lebih cepat karena system remisi pada tahanan. Bahkan di penjara sekalipun para koruptor tetap dapat hidup nyaman dengan fasilitas sel mewah berkat suap menyuap dalam sel.
(bef)