DREAMERS.ID - Sikap setuju dan tidak tentang sunat pada perempuan masih bergulir hingga kini. Adanya peraturan jelas yang sempat dihapuskan membuat masyarakat kebingungan karena masih banyak pendapat terpecah dari sisi medis mau pun hukum. Belum lagi dari sisi agama.
Tak hanya di Indonesia, beberapa negara lain juga melakukan sunat pada perempuan juga dianggap berlebihan karena dinilai memotong daerah genital wanita. Padahal, Kementerian Kesehatan pernah mengeluarkan Permenkes Nomor 1636 Tahun 2010 tentang sunat perempuan. Meski kemudian dilakukan pencabutan yang tertera dalam Permenkes Nomor 6 Tahun 2014.
Pancabutan itu dilakukan karena menganggap sunat perempuan bukanlah tindakan medis, melainkan lebih kepada budaya dan agama. Namun kemudian peraturan tersebut berlaku lagi dengan peraturan yang lebih tajam.
"Menurut saya, peraturan ini tidak melarang sunat perempuan. Karena mencabut peraturan lalu dan menerbitkan peraturan yang lebih tajam, cari kerja, prosedur, jangan sampai melukai atau menjadikan perbuatan itu (sunat), perempuan sebagai korbannya," kata Anhari Sultoni, pengacara dan dosen dari Universitas Sahid.
Baca juga: Mantan Kontestan 'Produce 101 Season 2' Jeong Joong Ji Meninggal Dunia Diduga Bunuh Diri
Sunat perempuan tidak bisa dianggap sebagai penyiksaan atau mematikan fungsi seksual wanita seperti biasa disebut vrigid. Sunat perempuan, menurut Anhari, dari sisi hukum tidak termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan bukan diskriminasi, karena dilakukan atas motivasi agama."Bukan diskriminasi karena yang disunat merasa lebih berharga dan terhormat. Bukan penyiksaan karena yang disunat hanya sedikit disayat. Dan bukan merupakan perusakan, penghancuran alat kelamin perempuan," paparnya
Dari sisi agama Islam sendiri, melakukan sunat atau khitan bagi wanita sama hukumnya seperti laki-laki.
"Kalau disebut fitrah untuk menunjukkan kepatuhan, harus dilakukan seperti memotong bulu ketiak, bulu kemaluan, kumis, yang dilakukan umumnya seminggu sekali dan dilakukan di hari Jumat. Khitan bagi perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan," tutur Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, KH Fuad Thohari.
(rei)