DREAMERS.ID - Peredaran obat palsu yang diungkap kepolisian kembali mencoreng dunia kesehatan. Koordinator Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sularsi, mengaku laporan masyarakat soal obat palsu sudah lama beredar tapi kenapa baru kali ini terungkap. "Sebenarnya peredaran obat palsu ini terjadi sudah lama sekali. 10 tahun lalu, ada pengaduan masyarakat mengenai obat palsu, yang kami cek di lapangan," ungkap Sularsi dalam diskusi 'Polemik Obat Palsu, Siapa Mau?' di Warung Daun, Cikini, Jakpus, Sabtu (10/9).
Dijelaskannya, laporan pertama diterimanya sekitar 2005 lalu. Produsen yang diamankan mengaku obat palsu yang beredar tak lepas dari campur tangan oknum yang tidak bertanggung jawab. "Saat itu kami memutuskan untuk tak mengumumkan ke publik untuk menjaga nama baik produsen obat yang (obatnya) dipalsukan," jelasnya. Menurutnya, untuk mengetahui perbedaan obat asli atau palsu, harus ada konfirmasi dari perusahaan industri farmasi itu sendiri. Jika tidak, masyarakat menjadi bingung dan bukan tidak mungkin menimbulkan korban. "Apabila ada pengawasan, harus dari hulu ke hilir.
Sebab apabila kalau di hilir saja, masyarakat enggak tahu mana obat palsu atau yang asli. Tapi kalau dari hulunya, akan ada pengawasan yang baik, aktor utamanya akan segera ditindak, karena obat palsu ini kan kita seperti mempertaruhkan nyawa bangsa ini," terang Sulastri. "Jangan sampai ada penindakan tapi putusan hakim tidak menimbulkan efek jera. Terkadang hanya hukuman percobaan, tapi tidak secara maksimal. Jadi ketika ada produsen obat palsu, harus diproses secara tegas dan jelas. Perlu ada pasal yang berlapis, tidak hanya dijerat UU kesehatan dan UU perlindungan konsumen saja, tapi juga UU money laundry agar memberikan efek jera," tandas Sulastri.
Baca juga: Marak Obat Palsu Kembali Beredar Disalurkan ke 197 Apotek Jabodetabek, Bagaimana Membedakannya?
Dalam kesempatan yang sama, Komisi IX DPR mendorong terbentuknya Peraturan Presiden dan Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait pengawasan obat dan makanan, sehingga kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dapat diperluas. "Penguatan pertama adalah Perpres-nya, dan mungkin dalam waktu dekat penguatan itu akan keluar. Penguatan kedua adalah RUU nya. Dulu dalam RUU itu BPOM pernah disisipkan kesediaan farmasi dan pengawasan obat, jadi sekarang kami di Komisi IX mengatakan BPOM harus punya UU sendiri. Saat ini UU yang diusulkan, ini inisiatif DPR ya, RUU pengawasan obat dan makanan," kata Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf.Usulan tersebut harus dimasukkan terlebih dahulu ke Badan Legislasi (Baleg), walaupun harus menunggu hingga tahun 2017 mendatang. Sebab, proses pengesahan RUU tersebut membutuhkan waktu, yang nantinya akan mereka dorong melalui Peraturan Presiden (Perpres) "Tapi harus kita masukan dulu ke Baleg, Baleg ini tentu akan dijadikan prioritas, bisa jadi di tahun 2017. Nah karena masih lama, Perpres ini yang bisa kami usulkan untuk BPOM. Kami mendesak Presiden untuk mengesahkan Perpres ini dalam waktu 30 hari ke depan. Karena sekarang dengan peak-peak nya BPOM melakukan kegiatan, payung hukumnya belum ada," lanjutnya.
Hingga saat ini perluasan kewenangan BPOM baru hanya dengan mengubah Permenkes dengan nomor 58, 35 dan 30 menjadi 34, 35 dan 36 yang isinya mengizinkan BPOM untuk melakukan pengawasan dan uji sampling pada rumah sakit, klinik maupun apotek. Namun, hal tersebut baru sebatas pengawasan di fasilitas kesehatan milik pemerintah dan belum sampai ke pihak swasta. "Perpres ini diharapkan memberikan kewenangan itu tadi sambil menunggu UU, yang bisa setahun atau setengah tahun tergantung perdebatan di DPR-nya," tutur Dede. Padahal, kata dia, bila pengawasan BPOM diperluas, nantinya kewenangan BPOM akan seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dapat melakukan penyelidikan dan penindakan secara langsung.
"Semangatnya ke sana (kewenangan BPOM akan seperti BNN), saya kira BPOM ini baru berfungsi di bidang pengawasan, lalu izin edar, jadi masih normatif. Jadi nantinya akan ada kewenangan penindakan, penyidikan dan penyelidikan dan pencegahan, seperti KPK atau BNN," pungkas Dede.